Kamis, 01 November 2012

PRAKTEK SHALAWAT WAHIDIYAH DI PONOROGO



Oleh Asngari, S.Th.I

A.    Kondisi Geografis Kota Ponorogo
  1. Letak Geografi Ponorogo
Dilihat dari geografisnya, kabupaten Ponorogo dibagi menjadi 2 sub area, yaitu area daratan tinggi yang meliputi kecamatan Ngrayun, Sooko dan Pulung serta Kecamatan Ngebel sisanya merupakan daerah daratan rendah. Sungai yang melewati ada 14 sungai dengan panjang antara 4 sampai 58 Km sebagai sumber irigasi bagi lahan pertanian dengan produksi padi maupun horticultural. Sebagian besar dari luas yang ada tediri dari area kehutanan dan lahan sawah, sedang sisanya digunakan untuk tegal pekarangan dan lainnya.[1]
  1. Kondidi Sosial di Ponorogo.
Secara administrasi wilayah Kabupateen Ponorogo terbagi menjadi 21 kecamatan serta 305 Kelurahan dan Desa. Dalam pelaksanaan pembangunan khususnya pembangunan ekonomi, di Ponorogo selalu mengacu pada Program Pembangunan Jawa Timur, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pembinaan kerukunan umat beragama yang berorientasi kepada peningkatan wawasan kebangsaan dan keamanan swakarsa.
Penduduk Ponorogo mayoritas pemeluk agama Islam sebesar 99,49 % dan selebihnya adalah  pemeluk agama Katholik, Protestan, Budha dan Hindu. Jumlah tempat ibadah pemeluk agama Islam sebesar 4.202 sedangkan untuk tempat peribadatan agama Kristen 18 buah.
Jumlah organisasi Kesenian Reog Ponorogo yang ada di kota Ponorogo pada tahun 2007 sejumlah sejumlah 259 unit. Seiring dengan program Pemerintah Kabupaten Ponorogo, karena Reog merupakan budaya asli Ponorogo, maka setiap desa disarankan minimal harus ada 1 unit Reog dan sebagai ajang ketrampilan dalam pegelarannya, maka pada setiap bulan syuro diadakan Festival Reog yang diikuti peserta dari seluruh penjuru Indonesia.
B.     Sejarah Munculnya Shalawat Wahidiyah di Ponorogo.
Sejarah munculnya Shalawat Wahidiyah dibawa oleh Bapak Kurmen dari kecamatan Ronowijayan kabupaten Ponorogo. Akan tetapi berkembangnya Shalawat Wahidiyah itu ialah dibawa oleh seorang tokoh yang bernama Kyai Abdullah Khusni, pengasuh Pondok pesantren Brahu kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo. 
Dituturkan oleh Bapak Abdullah Singkir Munculnya Shalawat Wahidiyah itu di awali oleh ya sayyidi ya rasulallâh, awalnya Shalawat Wahidiyah itu tidak digunakan untuk menjernihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah karena memang pada waktu itu banyak orang yang lagi kesusahan.  Dan di tahun 1965 muncul G 30 S PKI, maka pemuda-pemuda di kota Ponorogo pada tahun itu diadakan gemblengan-gemblengan/latian fisik melalui Shalawat Wahidiyah yâ sayyidî yâ rasûlallâh. Dengan begitu munculnya Shalawat Wahidiyah di Ponorogo di awali dengan bacaan yâ sayyidî yâ rasûlullâh.  Ada tiga tokoh yang berpengaruh yang mengembangkan Shalawat Wahidiyah pada tahun 1966 tersebut. Pertama, Kyai Abdullah Khusni dari Pondok Brahu Siman. Kedua, Imam Tarziz dari Kecamatan Sukosari. Ketiga,  Kyai Khusni dari Desa Madusari, Kecamatan Siman[2]
Dalam wawancara yang lainnya Penulis mendapatkan informasi dari bapak Wiyono salah satu Pengurus Shalawat Wahidiyah di Kecamatan Jenangan. Beliau menjelaskan bahwa jauh sebelum tiga tokoh yang penulis sebutkan di atas, ada satu tokoh yang membawa Shalawat Wahidiyah ke Ponorogo. Beliau adalah Mbah Kurmen, beliaulahyang memperkenalkan Shalawat Wahidiyah di ponorogo sekitar tahun 1965 setelah Shalawat Wahidiyah di Proklamirkan oleh Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah. Berikut pernyataan dari bapak Wiyono:
Shalawat Wahidiyah itu berisi doa-doa yang disusun dan beliau tulis langsung oleh Syeh Majid Ma’ruf qaddasa sirrahu dari Kedonglo Kediri pada tahun 1963. Sekitar tahun 1965 yang membawa masuk wahidiyah ke wilayah Ponorogo ini adalah mbah Kurmen. Tujuan shalawat wahidiyah adalah untuk menjernihkan hati makrifat billah.. [3]

Perkembangan Shalawat Wahidiyah di awali dari kecamatan kota Ponorogo, kemudian berkembang di dua kecamatan yakni kecamatan Jenangan dan kecamatan Babatan.

C.    Perkembangan Shalawat Wahidiyah di Ponorogo.
Untuk perkembangan Shalawat Wahidiyah di Ponorogo ini sudah berkembang dengan baik. Di Ponorogo ada 17 kecamatan yang sudah aktif sebagai pengamal Shalawat Wahidiyah. Setiap kecamatan mempunyai Pengurus yang bernama PSW (Penyiar Shalawat Wahidiyah) kecamatan, Setiap kecamatan mempunyai Jumlah Jam’iyah yang berbeda-beda.[4]
1.      Kegiatan Mujâhadah PSW Kabupaten Ponorogo.
Dalam wawancara dengan Luthfi Badawi Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang PSW Ponorogo, Secara Umum kegiatan mujâhadah di Ponorogo terbagi menjadi dua bagian. Pertama mujâhadah yang sifatnya baku. Kedua, mujâhadah yang sifatnya tidak baku.[5]
a.       Mujâhadah yang sifatnya baku.
Mujâhadah yang sifatnya baku adalah mujâhadah yang jenis kegiatannya seperti lokasi kegiatan mujâhadah dan waktu pelaksanaannya di jelaskan secara rinci. Dan kegiatan tersebut telah disetujui oleh pengurus PSW. Baik pengurus PSW tingkat kecamatan atau PSW tingkat Kabupaten. Berikut penulis mencantumkan jadwal pelaksanaan mujâhadah rubu’sanah PSW kab Ponorogo.[6]
Selain kegiatan mujâhadah rubu’sanah, penulis juga mencantumkan kegiatan mujâhadah syahriyyah di seluruh kecamatan kabupaten Ponorogo. Adapun kegiatan mujâhadah syahriyyah tersebut di koordinir oleh masing-masing PSW kecamatan. Tempat kegiatan mujâhadah syahriyyah di tingkat kecamatan tersebut bersifat bergiliran sesuai dengan jumlah kelompok Jama’ahnya di tiap kecamatan.[7]
b.      Mujâhadah yang tidak baku.
Mujâhadah yang tidak baku adalah mujâhadah yang jenis pelaksanaanya tidak dijelaskan secara pasti (kondisional), dan tempat dan waktu pelaksanaanya tidak ditentukan secara pasti. Kegiatan mujâhadah tersebut diperuntukkan bagi remaja dan kanak-kanak. Dalam rangka mendidik mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berikut enam kecamatan di Ponorogo yang berhasil dicatat oleh penulis yang aktif mengadakan mujâhadah tidak baku.[8]
Tidak sekedar mujâhadah saja, di dalam mujâhadah tersebut diadakan mauidhah hasanah yang di isi secara langsung oleh pengurus PSW (Penyiar Shalawat Wahidiyah). Baik dari pengurus PSW Kabupaten atau dari PSW kecamatan. Tema yang di angkat dalam mauidhah tersebut bisa bervariatif. Tergantung bulan pelaksanaan mujâhadah tersebut. Seperti halnya jika mujâhadah tersebut dilaksanakan pada bulan Maulûd, maka tema yang diangkat seputar peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, dan lain sebagainya.[9]


2.      Struktur kepengurusan Penyiar Shalawat Wahidiyah SE KAB. Ponorogo 2007-2012.
Fungsi PSW adalah mengajak diri sendiri, keluarga dan para pengamal Shalawat Wahidiyah kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga dengan kebeadaan PSW yang ada di Ponorogo.
Didalam wahidiyah ada satu lembaga yang dinamakan lembaga hikmah atau yang disebut PSW penyiaran Shalawat Wahidiyah disitu ada susunan pengurus namun didalam kepengurusan wahidiyah itu tidak ada istilah anggota. Karena apa? PSW yang dibentuk oleh Romo kyai abdul madjid ma’ruf itu bertugas melayani kepada pengamal. Dalam arti bila pengamal itu ada permasalahan, kesulitan didalam pengamalan, PSW inilah yang bertanggung jawab. Didalam PSW itu menjalankan tugas pokok PSW adalah untuk menjaga dan melestarikan kemurnian shalawat wahidiyah dan ajaran itu. Dalam arti tidak diselewengkan disalah gunakan, jadi betul-betul murni.. [10]

Fungsi dari PSW Kabupaten Ponorogo adalah melayani para pengamal Shalawat Wahidiyah. Dalam arti jika ada pengamal mengalami kesulitan dalam mengamalkan Shalawat Wahidiyah, maka PSW lah yang bertugas menangani masalah tersebut.  Susunan Penyiar Shalawat Wahidiyah seperti yang tertera di bawah ini.[11]
D.    Dasar Pengamal Shalawat Wahidiyah di Ponorogo
Dari data lapangan, peneliti mendapatkan keterangan dari salah satu pengurus DPW Jawa Timur Bapak Budi santoso yang juga termasuk pengasuk pondok pesantren Sarwani Ngrupit Jenangan Ponorogo, beliau menyatakan bahwa Orang yang suka membaca Sholawat bisa dikategorikan sebagai Ahlus Sunnah Waljama’ah. Begitu juga dengan para pengamal Shalawat Wahidiyah termasuk ciri khas yang tidak bisa dipungkiri dalam arti orang yang cinta kepada Rasullullah. Berikut pernyataan dari beliau;
Pengamal Wahidiyah merupakan ciri khas yang tidak bisa dipungkiri lagi. Orang yang menghidupkan shalawat, cinta kepada Rasulullah itu adalah ciri khas dari Ahlus sunnah. Orang yang suka bershalawat merupakan ciri khas ahlus sunnah.  [12]

Shalawat Wahidiyah berakidahkan Ahlussunah Waljamaah berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bapak Syahro Wardi Dewan Pimpinan Cabang Penyiar Shalawat Wahidiyah Ponorogo. Berikut penyataan  dai beliau;
Mengenai landasan aqidah Ahlus sunnah waljamaah itu pengambilannya tetap Al-Qur’an dan Hadits. صلو عليه وسلموا تسليما ya Al-Qur’an dan Hadits, otomatis dengan Ijma’, Qiyas Ahlu Sunnah waljama’ah itu kan sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadits. Qur’an dan Hadits itu pedoman yang prinsip kemudian dijabarkan oleh para ulama’. Hadits ini..,.manfa’atnya sholawat ini.., Ahlus sunnah waljamaah itu juga kumpulan dari kumpulan ulama’. Dan ulama’ sudah merestui semua.[13]

Dan shalawat Wahidiyah itu sendiri bukanlah sebuah organisasi, Shalawat Wahidiyah tidak bisa dikategorikan sebagai organisasi Nadhatul Ulama’ atau organisasi Muhammadiyah atau organisasi apapun juga. Wahidiyah itu adalah sebuah shalawat dikarenakan di dalam Shalawat Wahidiyah itu terdapat kumpulan do’a shalawat Nabi Saw yang dirangkaikan dengan do’a-do’a yang sangat diperlukan oleh setiap manusia, utamanya do’a Wahidiyah. Orang yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah termasuk orang yang mengesakan Allah Swt. Dengan begitu Shalawat Wahidiyah sifatnya rahmatan lil âlamîn, siapa saja boleh mengamalkan Shalawat Wahidiyah tanpa pandang bulu. Hal tersebut dijelaskan secara langsung oleh Ketua Umum Penyiar Shalawat Wahidiyah di Ponorogo.
Wahidiyah itu organisasi indepanden, tidak ikut campur dengan partai politik manapun. Pengamal Wahidiyah tidak diarahkan untuk mengikuti salah satu organisasi partai politik itu. Juga tidak dilarang untuk mengikuti salah satu dari organisasi politik itu.
Itu membuktikan bahwa Shalawat Wahidiyah itu bisa diamalkan oleh siapaun tanpa pandang bulu. Karena apa? Visi dan misi Wahidiyah itu adalah untuk memperbaiki akhlak melalui jalur bathiniyyah, yaitu dengan mengamalkan Shalawat Wahidiyah itu diharapkan mendapat kejernihan hati dan kesadaran. Buah dari kesadaran dan kejernihan hati  seseorang itu tercermin melalui akhlakul karimah.[14]

Untuk mengembangkan amalan Shalawat Wahidiyah dan pembinaannya supaya pengamalannya sesuai dengan bimbingan maka muallifnya (pengarang) membentuk organisasi yang bernama Penyiar Shalawat Wahidiyah. Penyiar Shalawat Wahidiyah itu dibentuk pada tahun 1964. Tujuan dari Penyiar shalawat Wahidiyah adalah organisasi khidmah atau organisasi kerja yang bertugas menyiarkan Shalawat Wahidiyah tanpa meminta balasan jasa kepada siapapun.
Shalawat Wahidiyah murni merupakan amalan Shalawat yang biasa dilakukan oleh umat Islam. Peneliti melihat suatu hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan ritual yang dirumuskan oleh Shalawat Wahidiyah. Seperti yang ada di Ponorogo. Berdasarkan interview singkat dengan Bapak Mustafa Ketua DPC (Dewan Pimpinan cabang)  Penyiar Shalawat Wahidiyah yang ada di Ponorogo tersebut muncul keterangan menarik bahwa amalan Shalawat Wahidiyah ini berpedoman pada Ahlu Sunnah Waljama’ah. Dan yang menyusun amalan ini memang ulama Indonesia.
Sekitas tahun 1963. sekitar tahun 1963 lahirnya sholawat wahidiyah itu. Lalu sekarang mengenai azas dasar dari wahidiyah itu, amalan wahidiyah itu menggunakan azas apa? Azasnya ahlussunah waljamaah. Ya, kembali kepada individunya. Karena didalam wahidiyah itu ada ketentuan yang mana tidak boleh untuk itu. Karena shalawat wahidiyah itu boleh diamalkan oleh siapapun tanpa pandang bulu dan golongan.  [15]

Hal ini dikarenakan Shalawat Wahidiyah bisa berakulturasi dengan budaya masyarakat. Di dalam masyarakat Nahdhotul Ulama’ yang kental dengan nuansa tradisi ke-NU an seperti gendurenan (kirim do’a kepada orang yang telah meninggal) misalnya, Shalawat Wahidiyah bisa di amalkan di dalam ritual genduenan tersebut.
Wahidiyah juga bukan sebagai tharîqah. Berdasarkan interview dan data yang peneliti peroleh menjelaskan bahwa Wahidiyah bukan sebagai tharîqah.
Di dalam wahidiyah itu sendiri tidak ada ketentuan dalam mengamalkan shalawat tersebut. Yang penting mau untuk mengamalkan shalawat tersebut. Dan shalawat tersebut bukan tharîqah seperti yang dikenal oleh masyarakat saat ini. Jadi didalam Wahidiyah tidak ada ijazah atau baiat seperti layaknya jika seseorang itu masuk pada tharîqah tertentu. Jadi penggunaan tharîqah di dalam wahidiyah itu mempunyai makna jalan untuk wushûl kepada Allah Swt. Seperti wawancara yang berhasil peneliti rekam berikut ini:
Wahidiyah itu bukan tharîqah, Cuma shalawat. Kalau tharîqah itu semacam baiat, sedang diwahidiyah itu tidak ada yang namanya baiat. Kalau mempelajari wahidiyah itu alangkah lebih tau itu mujâhadah. Maksudnya Wahidiyah nanti timbulnya pembicaraan tidak sampai hati Cuma hanya tulisan saja.  [16]

Shalawat Wahidiyah harus dilaksanakan sesuai dengan ajaran Wahidiyah. Hal tersebut diungkapkan oleh Pengurus DPW Jawa Timur  Bapak Budi Santoso, beliau menjelaskan bahwa ajaran Wahidiyah itu adalah lillâh-billâh lirasûl birasûl dalam arti segala sesuatu apa saja tidak maksiat tidak dilarang Allah dan tidak merugikan orang lain dan tidak bertentangan dengan hukum Negara aktifitas apa saja diniati lillâh melaksanakan perintah Allah. Ajaran Wahidiyah itu adalah ajaran Islam yang dikemas dengan ajaran Wahidiyah. Berikut pernyataannya:
Kalau billah jelas diterangkan aktifitas kita apa saja di samping kita niati hal itu sebagai perintah ibadah itu harus disadari billah bahwa sesungguhnya manusia itu tiada daya kekuatan apapun selain pertolongan dari Allah Swt. 
Shalawat Wahidiyah bukan thariqah atau aliran melainkan amalan Shalawat seperti amalan-amalan lainnya. Hanya saja pengamalan, penyiaran dan pembinaannya dikordinir oleh lembaga PSW dan disertai dengan bimbingan praktis yang disebut Ajaran Wahidiyah.[17]

Di dalam Wahidiyah tidak ada istilah ijasah  amalan. Karena sudah diijazahkan secara mutlak oleh muallifnya. Yang terpenting bagi pengamal Shalawat Wahidiyah itu sendiri bersedia mau mengamalkan Shalawat Wahidiyah 40 hari itu. Sudah bisa dinamakan ijâzah. Jadi tanpa ada istilah ijâzah tertentu sudah diakui sebagai murid.[18]
Wahidiyah bukanlah sebuah thâriqah, Wahidiyah murni sebuah shalawat. Karena di  dalam tharîqah itu ada semacam baiat, sedang di Wahidiyah itu tidak ada yang namanya baiat. Shalawat Wahidiyah boleh diamalkan oleh anak-anak sedangkan di dalam tharîqah yang mengikutinya disyaratkan sudah dewasa.[19]
E.     Manfaat Shalawat Wahidiyah di Ponorogo.
Dalam interview dengan bapak Abdul Basyir ketua II Pengurus Wahidiyah kecamatan Jenangan, kabupaten Ponorogo dan beliau juga termasuk salah satu pengamal Shalawat Wahidiyah menjelaskan Bahwa orang yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah sesuai dengan bimbingan dan ajaran Wahidiyah, maka orang tersebut akan diberi banyak peningkatan lahir dan bathin.
Bathin diberi rasa kesadaran untuk mengabdikan diri kepada Allah Swt sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Diberi rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Dan diberi rasa cinta kepada sesama dan diberi kelapangan jiwa dalam mengatasi segala urusan.
Pengertian ma’rifat itu saya simpulkan mendekatkan diri kepada Allah, sebab kalau kita lihat kata-katanya ma’rifat ini adalah sebagai hamba Allah, otomatis kalau menyadari sebagai hamba Allah, dia akan tahu kewajibannya sebagai seorang hamba.
Kalau tahu dia punya kewajiban sebagai seorang hamba, otomatis ia tahu yang memerintah artinya tahu dengan Tuhan menyadari dengan hukum-hukum Allah. Itulah ma’rifat.[20]

F.     Dana box
Penggalian dana dalam perjuangan Shalawat Wahidiyah dengan sistem Dana Box. Dana box adalah termasuk paket bimbingan dan tuntunan praktis dari Beliau muallif Shalawat Wahidiyah secara rutin setiap hari menurut kemampuan, kesadaran,  dan keikhlasan masing-masing. Semua pengamal Shalawat Wahidiyah dianjurkan berdana box. Semua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) yang ada di Jawa Timur mempunyai sistem dana box termasuk DPC yang ada di kota Ponorogo saat ini. [21]
Berikut firman Al-qur’an dan sabda Rasulullah Saw yang menjadi landasan dasar bershodaqoh atau berinfaq fii sabiilah:
انفروا خففا وثقالا وجا هدوا باءموالكم وانفسكم في سبيل الله ذالكم خير لكم ان كنتم تعلمون (التو بة ۶۱)
“Berangkat kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah (berjuang) dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik buat dirimu jika menyadari”[22]

Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dari Aisyah ra.
كان احب العمل اليه ما دوم عليه وان قل (رواه التر مذي والنسائ عن عائسة وام سلمة)
“Amal perbuatan yang paling disukai oleh Rasulullah Saw adalah yang rutin dan kontinyu meskipun sedikit”[23]

Sistem penggalian dana box di Ponorogo dimulai dari pengamal Shalawat Wahidiyah itu sendiri. Di setiap rumah pengamal Shalawat Wahidiyah supaya disediakan dana box (kotak dana) paling sedikit satu buah. Boleh terbuat dari kayu, atau kaleng bekas. Penyediaan kotak dana box diusahakan sendiri oleh kepala rumah tangga atau anggota, atau diusahakan bersama-sama oleh PSW Desa atau jam’iyyah Shalawat setempat.
Setiap sebulan sekali dana box tersebut diambil dan disetorkan oleh petugas pengumpul dana box yang disingkat Gaspul. Gaspul mempunyai tugas dan tanggung jawab mengontrol tersedianya kotak Dana box di rumah-rumah pengamal Shalawat Wahidiyah di desa atau lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengambilan dana box dilakukan setiap bulan. Dari dana tersebut di setorkan ke PSW Desa, dari PSW desa kemudian disetorkan ke tingkat PSW kecamatan, dari PSW kecamatan kemudian disetorkan ke DPC Ponorogo. Dari DPC Ponorogo disetorkan ke DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) Sholawat Wahidiyah. Dari DPW disetorkan ke DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Sholawat Wahidiyah.
Dari dana box yang terkumpul mulai gaspul PSW Desa sampai ke DPW Wilayah masing-masing  mendapat bagian 15% dari dana yang terkumpul.  Selebihnya dari dana box tersebut di salurkan ke DPP PSW Pusat. Berikut keterangan mengenai alokasi pembagian Dana Box .[24]
  1. Tujuan Dana Box
a.       Secara rutin mendermakan dan mengikut sertakan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah untuk perjuangan Shalawat Wahidiyah.
b.      Selalu ingat dan peduli dan merasa ikut tanggung jawab terhadap kebutuhan.
c.       Merealisasikan syukur kepada Allah dan Rasul-Nya atas karunia yang telah diterimanya berupa perjuangan Wahidiyah.
d.      Melatih diri dan keluarganya untuk menabung, menghemat dan menghargai sekecil apapun dari pemberian Allah Swt.
e.       Mempererat hubungan antara pengamal Wahidiyah dengan PSW-nya.
f.       Untuk menghimpun dana perjuangan Wahidiyah dari pengamal Shalawat Wahidiyah.
  1. Pengisian Dana Box di Ponorogo.
a.       Dilakukan oleh setiap pengamal Shalawat Wahidiyah, baik yang duduk di jajaran PSW di semua tingkatan atau tidak.
b.      Dalam suatu keluarga pengisian dana box dapat dilakukan dari salah satu anggotanya, akan tetapi yang lebih baik dan sangat dianjurkan, masing-masing anggota keluarganya mengisi dengan sendiri-sendiri.
c.       Bagi personel Penyiar Shalawat Wahidiyah di semua tingkatan menjadi sponsor, contoh bagi yang lainnya. [25]


[1] Pemkab Ponorogo Jawa Timur, Grebeg Suro Kota Reog Ponorogo, (Tanpa Penerbit: 2006), 7.
[2] Lihat  Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-8/13/II/2010 dalam lampiran skripsi ini.
[3] Lihat  Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-1/5/II/2010   dalam lampiran skripsi ini
[4] Lihat Transkip Dokumentasi  01/D/F-6/19.V/2010.
[5] Lihat Transkip Wawancara nomor  01/O/F-6/19/V/2010.
[6] Lihat Transkip Dokumentasi 01/O/F-4/19/V/2010.
[7] Lihat Transkip Dokumentasi  01/D/F-3/15.V/2010.
[8] Lihat Transkip Dokumentasi 01/O/F-2/19/V/2010.
[9] Lihat Transkip Dokumentasi  01/O/D/F-9/7/VI/2010.
[10] Lihat Transkip Wawancara nomor 01/O/F-12/23/IV/2010 dalam skripsi ini.
[11] Lihat Transkip Dokumentasi 01/O/DF-12/23/IV/2010
[12] Lihat  Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-8/19/II/2010 dalam skripsi ini.
[13] Lihat  Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-9/19/VI/2010 dalam lampiran skripsi ini.
[14] Lihat  Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-10/19/II/2010 dalam lampiran skripsi ini.
[15] Lihat  Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-3/19/II/2010 dalam lampiran skripsi ini.
[16] Lihat Transkip Wawancara nomor: 01/0F-5/23/III/2010 dalam lampiran skripsi ini.
[17] Lihat Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-4/21/II/2010 dalam skripsi  ini.
[18] Lihat Transkip Wawancara nomor:01/O/F-1/5/II/2010  dalam skripsi ini.
[19] Lihat Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-2/21/II/2010 dalam skripsi ini.
[20] Lihat Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-11/21/II/2010 dalam skripsi ini.
[21] Lihat Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-7/16/VI/2010 dalam skripsi ini.
[22] Al-Qur’an, 9: 41.
[23] Muhammad Ibn Isa Abu Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzî jld III (Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-Arabî, Tanpa Tahun), 165.
[24] Lihat Transkip Dokumentasi 01/O/D/F-7/7/VI/2010
[25] Lihat Transkip Wawancara nomor: 01/O/F-7/1/VI/2010 dalam lampiran skipsi ini.