Oleh Asngari, S.Th.I
A.
Kondisi
Geografis Kota
Ponorogo
- Letak Geografi Ponorogo
Dilihat dari geografisnya,
kabupaten Ponorogo dibagi menjadi 2 sub area, yaitu area daratan tinggi yang
meliputi kecamatan Ngrayun, Sooko dan Pulung serta Kecamatan Ngebel sisanya
merupakan daerah daratan rendah. Sungai yang melewati ada 14 sungai dengan
panjang antara 4 sampai 58 Km sebagai sumber irigasi bagi lahan pertanian
dengan produksi padi maupun horticultural. Sebagian besar dari luas yang ada
tediri dari area kehutanan dan lahan sawah, sedang sisanya digunakan untuk
tegal pekarangan dan lainnya.[1]
- Kondidi Sosial di Ponorogo.
Secara administrasi wilayah
Kabupateen Ponorogo terbagi menjadi 21 kecamatan serta 305 Kelurahan dan Desa.
Dalam pelaksanaan pembangunan khususnya pembangunan ekonomi, di Ponorogo selalu
mengacu pada Program Pembangunan Jawa Timur, yaitu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, pengentasan kemiskinan, pembinaan kerukunan umat beragama yang
berorientasi kepada peningkatan wawasan kebangsaan dan keamanan swakarsa.
Penduduk Ponorogo mayoritas
pemeluk agama Islam sebesar 99,49 % dan selebihnya adalah pemeluk agama Katholik, Protestan, Budha dan
Hindu. Jumlah tempat ibadah pemeluk agama Islam sebesar 4.202 sedangkan untuk
tempat peribadatan agama Kristen 18 buah.
Jumlah organisasi Kesenian
Reog Ponorogo yang ada di kota
Ponorogo pada tahun 2007 sejumlah sejumlah 259 unit. Seiring dengan program
Pemerintah Kabupaten Ponorogo, karena Reog merupakan budaya asli Ponorogo, maka
setiap desa disarankan minimal harus ada 1 unit Reog dan sebagai ajang
ketrampilan dalam pegelarannya, maka pada setiap bulan syuro diadakan
Festival Reog yang diikuti peserta dari seluruh penjuru Indonesia.
B.
Sejarah
Munculnya Shalawat Wahidiyah di Ponorogo.
Sejarah munculnya Shalawat
Wahidiyah dibawa oleh Bapak Kurmen dari kecamatan Ronowijayan kabupaten Ponorogo.
Akan tetapi berkembangnya Shalawat Wahidiyah itu ialah dibawa oleh seorang
tokoh yang bernama Kyai Abdullah Khusni, pengasuh Pondok pesantren Brahu
kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo.
Dituturkan oleh Bapak
Abdullah Singkir Munculnya Shalawat Wahidiyah itu di awali oleh ya sayyidi
ya rasulallâh, awalnya Shalawat Wahidiyah itu tidak digunakan untuk
menjernihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah karena memang pada waktu
itu banyak orang yang lagi kesusahan.
Dan di tahun 1965 muncul G 30 S PKI, maka pemuda-pemuda di kota Ponorogo pada tahun
itu diadakan gemblengan-gemblengan/latian fisik melalui Shalawat Wahidiyah yâ
sayyidî yâ rasûlallâh. Dengan begitu munculnya Shalawat Wahidiyah di
Ponorogo di awali dengan bacaan yâ sayyidî yâ rasûlullâh. Ada
tiga tokoh yang berpengaruh yang mengembangkan Shalawat Wahidiyah pada tahun
1966 tersebut. Pertama, Kyai Abdullah Khusni dari Pondok Brahu Siman. Kedua,
Imam Tarziz dari Kecamatan Sukosari. Ketiga, Kyai Khusni dari Desa Madusari, Kecamatan
Siman[2]
Dalam wawancara yang lainnya
Penulis mendapatkan informasi dari bapak Wiyono salah satu Pengurus Shalawat
Wahidiyah di Kecamatan Jenangan. Beliau menjelaskan bahwa jauh sebelum tiga
tokoh yang penulis sebutkan di atas, ada satu tokoh yang membawa Shalawat
Wahidiyah ke Ponorogo. Beliau adalah Mbah Kurmen, beliaulahyang memperkenalkan
Shalawat Wahidiyah di ponorogo sekitar tahun 1965 setelah Shalawat Wahidiyah di
Proklamirkan oleh Beliau Muallif Shalawat Wahidiyah. Berikut pernyataan dari
bapak Wiyono:
Shalawat Wahidiyah itu berisi doa-doa
yang disusun dan beliau tulis langsung oleh Syeh Majid Ma’ruf qaddasa sirrahu
dari Kedonglo Kediri
pada tahun 1963. Sekitar tahun 1965 yang membawa masuk wahidiyah ke wilayah
Ponorogo ini adalah mbah Kurmen. Tujuan shalawat wahidiyah adalah untuk
menjernihkan hati makrifat billah.. [3]
Perkembangan Shalawat
Wahidiyah di awali dari kecamatan kota
Ponorogo, kemudian berkembang di dua kecamatan yakni kecamatan Jenangan dan
kecamatan Babatan.
C.
Perkembangan Shalawat
Wahidiyah di Ponorogo.
Untuk perkembangan Shalawat
Wahidiyah di Ponorogo ini sudah berkembang dengan baik. Di Ponorogo ada 17
kecamatan yang sudah aktif sebagai pengamal Shalawat Wahidiyah. Setiap
kecamatan mempunyai Pengurus yang bernama PSW (Penyiar Shalawat Wahidiyah)
kecamatan, Setiap kecamatan mempunyai Jumlah Jam’iyah yang berbeda-beda.[4]
1.
Kegiatan Mujâhadah
PSW Kabupaten Ponorogo.
Dalam wawancara dengan
Luthfi Badawi Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang PSW Ponorogo, Secara Umum
kegiatan mujâhadah di Ponorogo terbagi menjadi dua bagian. Pertama mujâhadah
yang sifatnya baku.
Kedua, mujâhadah yang sifatnya tidak baku.[5]
a.
Mujâhadah yang sifatnya baku.
Mujâhadah yang sifatnya baku
adalah mujâhadah yang jenis kegiatannya seperti lokasi kegiatan mujâhadah
dan waktu pelaksanaannya di jelaskan secara rinci. Dan kegiatan tersebut telah
disetujui oleh pengurus PSW. Baik pengurus PSW tingkat kecamatan atau PSW
tingkat Kabupaten. Berikut penulis mencantumkan jadwal pelaksanaan mujâhadah
rubu’sanah PSW kab Ponorogo.[6]
Selain kegiatan mujâhadah
rubu’sanah, penulis juga mencantumkan kegiatan mujâhadah syahriyyah
di seluruh kecamatan kabupaten Ponorogo. Adapun kegiatan mujâhadah
syahriyyah tersebut di koordinir oleh masing-masing PSW kecamatan. Tempat
kegiatan mujâhadah syahriyyah di tingkat kecamatan tersebut bersifat
bergiliran sesuai dengan jumlah kelompok Jama’ahnya di tiap kecamatan.[7]
b.
Mujâhadah yang tidak baku.
Mujâhadah yang tidak baku
adalah mujâhadah yang jenis pelaksanaanya tidak dijelaskan secara pasti
(kondisional), dan tempat dan waktu pelaksanaanya tidak ditentukan secara
pasti. Kegiatan mujâhadah tersebut diperuntukkan bagi remaja dan
kanak-kanak. Dalam rangka mendidik mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Berikut enam kecamatan di Ponorogo yang berhasil dicatat oleh penulis yang
aktif mengadakan mujâhadah tidak baku.[8]
Tidak sekedar mujâhadah
saja, di dalam mujâhadah tersebut diadakan mauidhah hasanah yang
di isi secara langsung oleh pengurus PSW (Penyiar Shalawat Wahidiyah). Baik
dari pengurus PSW Kabupaten atau dari PSW kecamatan. Tema yang di angkat dalam mauidhah
tersebut bisa bervariatif. Tergantung bulan pelaksanaan mujâhadah
tersebut. Seperti halnya jika mujâhadah tersebut dilaksanakan pada bulan
Maulûd, maka tema yang diangkat seputar peringatan maulid Nabi Muhammad
SAW, dan lain sebagainya.[9]
2.
Struktur kepengurusan Penyiar
Shalawat Wahidiyah SE KAB. Ponorogo 2007-2012.
Fungsi PSW adalah mengajak
diri sendiri, keluarga dan para pengamal Shalawat Wahidiyah kembali mengabdikan
diri dan sadar kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga dengan kebeadaan PSW
yang ada di Ponorogo.
Didalam wahidiyah ada satu lembaga
yang dinamakan lembaga hikmah atau yang disebut PSW penyiaran Shalawat
Wahidiyah disitu ada susunan pengurus namun didalam kepengurusan wahidiyah itu
tidak ada istilah anggota. Karena apa? PSW yang dibentuk oleh Romo kyai abdul
madjid ma’ruf itu bertugas melayani kepada pengamal. Dalam arti bila pengamal
itu ada permasalahan, kesulitan didalam pengamalan, PSW inilah yang bertanggung
jawab. Didalam PSW itu menjalankan tugas pokok PSW adalah untuk menjaga dan
melestarikan kemurnian shalawat wahidiyah dan ajaran itu. Dalam arti tidak
diselewengkan disalah gunakan, jadi betul-betul murni.. [10]
Fungsi dari PSW Kabupaten
Ponorogo adalah melayani para pengamal Shalawat Wahidiyah. Dalam arti jika ada
pengamal mengalami kesulitan dalam mengamalkan Shalawat Wahidiyah, maka PSW lah
yang bertugas menangani masalah tersebut.
Susunan Penyiar Shalawat Wahidiyah seperti yang tertera di bawah ini.[11]
D.
Dasar Pengamal
Shalawat Wahidiyah di Ponorogo
Dari data lapangan, peneliti
mendapatkan keterangan dari salah satu pengurus DPW Jawa Timur Bapak Budi
santoso yang juga termasuk pengasuk pondok pesantren Sarwani Ngrupit Jenangan
Ponorogo, beliau menyatakan bahwa Orang yang suka membaca Sholawat bisa
dikategorikan sebagai Ahlus Sunnah Waljama’ah. Begitu juga dengan para pengamal
Shalawat Wahidiyah termasuk ciri khas yang tidak bisa dipungkiri dalam arti orang
yang cinta kepada Rasullullah. Berikut pernyataan dari beliau;
Pengamal Wahidiyah
merupakan ciri khas yang tidak bisa dipungkiri lagi. Orang yang menghidupkan
shalawat, cinta kepada Rasulullah itu adalah ciri khas dari Ahlus sunnah. Orang
yang suka bershalawat merupakan ciri khas ahlus sunnah. [12]
Shalawat Wahidiyah
berakidahkan Ahlussunah Waljamaah berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits, Ijma’
dan Qiyas. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bapak Syahro Wardi Dewan
Pimpinan Cabang Penyiar Shalawat Wahidiyah Ponorogo. Berikut penyataan dai beliau;
Mengenai landasan aqidah
Ahlus sunnah waljamaah itu pengambilannya tetap Al-Qur’an dan Hadits. صلو عليه وسلموا تسليما ya Al-Qur’an dan Hadits, otomatis dengan Ijma’, Qiyas Ahlu
Sunnah waljama’ah itu kan sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadits. Qur’an dan
Hadits itu pedoman yang prinsip kemudian dijabarkan oleh para ulama’. Hadits
ini..,.manfa’atnya sholawat ini.., Ahlus sunnah waljamaah itu juga kumpulan
dari kumpulan ulama’. Dan ulama’ sudah merestui semua.[13]
Dan shalawat Wahidiyah itu
sendiri bukanlah sebuah organisasi, Shalawat Wahidiyah tidak bisa dikategorikan
sebagai organisasi Nadhatul Ulama’ atau organisasi Muhammadiyah atau organisasi
apapun juga. Wahidiyah itu adalah sebuah shalawat dikarenakan di dalam Shalawat
Wahidiyah itu terdapat kumpulan do’a shalawat Nabi Saw yang dirangkaikan dengan
do’a-do’a yang sangat diperlukan oleh setiap manusia, utamanya do’a Wahidiyah.
Orang yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah termasuk orang yang mengesakan Allah
Swt. Dengan begitu Shalawat Wahidiyah sifatnya rahmatan lil âlamîn,
siapa saja boleh mengamalkan Shalawat Wahidiyah tanpa pandang bulu. Hal
tersebut dijelaskan secara langsung oleh Ketua Umum Penyiar Shalawat Wahidiyah
di Ponorogo.
Wahidiyah itu organisasi indepanden,
tidak ikut campur dengan partai politik manapun. Pengamal Wahidiyah tidak
diarahkan untuk mengikuti salah satu organisasi partai politik itu. Juga tidak
dilarang untuk mengikuti salah satu dari organisasi politik itu.
Itu membuktikan bahwa Shalawat
Wahidiyah itu bisa diamalkan oleh siapaun tanpa pandang bulu. Karena apa? Visi
dan misi Wahidiyah itu adalah untuk memperbaiki akhlak melalui jalur bathiniyyah,
yaitu dengan mengamalkan Shalawat Wahidiyah itu diharapkan mendapat kejernihan
hati dan kesadaran. Buah dari kesadaran dan kejernihan hati seseorang itu tercermin melalui akhlakul
karimah.[14]
Untuk mengembangkan amalan
Shalawat Wahidiyah dan pembinaannya supaya pengamalannya sesuai dengan
bimbingan maka muallifnya (pengarang) membentuk organisasi yang bernama Penyiar
Shalawat Wahidiyah. Penyiar Shalawat Wahidiyah itu dibentuk pada tahun 1964.
Tujuan dari Penyiar shalawat Wahidiyah adalah organisasi khidmah atau
organisasi kerja yang bertugas menyiarkan Shalawat Wahidiyah tanpa meminta
balasan jasa kepada siapapun.
Shalawat Wahidiyah murni
merupakan amalan Shalawat yang biasa dilakukan oleh umat Islam. Peneliti
melihat suatu hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan ritual yang
dirumuskan oleh Shalawat Wahidiyah. Seperti yang ada di Ponorogo. Berdasarkan
interview singkat dengan Bapak Mustafa Ketua DPC (Dewan Pimpinan cabang) Penyiar Shalawat Wahidiyah yang ada di
Ponorogo tersebut muncul keterangan menarik bahwa amalan Shalawat Wahidiyah ini
berpedoman pada Ahlu Sunnah Waljama’ah. Dan yang menyusun amalan ini memang
ulama Indonesia.
Sekitas tahun 1963. sekitar tahun
1963 lahirnya sholawat wahidiyah itu. Lalu sekarang mengenai azas dasar dari
wahidiyah itu, amalan wahidiyah itu menggunakan azas apa? Azasnya ahlussunah
waljamaah. Ya, kembali kepada individunya. Karena didalam wahidiyah itu ada
ketentuan yang mana tidak boleh untuk itu. Karena shalawat wahidiyah itu boleh
diamalkan oleh siapapun tanpa pandang bulu dan golongan. [15]
Hal ini dikarenakan Shalawat
Wahidiyah bisa berakulturasi dengan budaya masyarakat. Di dalam masyarakat
Nahdhotul Ulama’ yang kental dengan nuansa tradisi ke-NU an seperti gendurenan
(kirim do’a kepada orang yang telah meninggal) misalnya, Shalawat Wahidiyah
bisa di amalkan di dalam ritual genduenan tersebut.
Wahidiyah juga bukan sebagai
tharîqah. Berdasarkan interview dan data yang peneliti peroleh
menjelaskan bahwa Wahidiyah bukan sebagai tharîqah.
Di dalam wahidiyah itu
sendiri tidak ada ketentuan dalam mengamalkan shalawat tersebut. Yang penting
mau untuk mengamalkan shalawat tersebut. Dan shalawat tersebut bukan tharîqah
seperti yang dikenal oleh masyarakat saat ini. Jadi didalam Wahidiyah tidak ada
ijazah atau baiat seperti layaknya jika seseorang itu masuk pada tharîqah
tertentu. Jadi penggunaan tharîqah di dalam wahidiyah itu mempunyai
makna jalan untuk wushûl kepada Allah Swt. Seperti wawancara yang
berhasil peneliti rekam berikut ini:
Wahidiyah itu bukan tharîqah,
Cuma shalawat. Kalau tharîqah itu semacam baiat, sedang diwahidiyah itu tidak
ada yang namanya baiat. Kalau mempelajari wahidiyah itu alangkah lebih tau itu
mujâhadah. Maksudnya Wahidiyah nanti timbulnya pembicaraan tidak sampai hati
Cuma hanya tulisan saja. [16]
Shalawat Wahidiyah harus
dilaksanakan sesuai dengan ajaran Wahidiyah. Hal tersebut diungkapkan oleh
Pengurus DPW Jawa Timur Bapak Budi
Santoso, beliau menjelaskan bahwa ajaran Wahidiyah itu adalah lillâh-billâh
lirasûl birasûl dalam arti segala sesuatu apa saja tidak maksiat tidak
dilarang Allah dan tidak merugikan orang lain dan tidak bertentangan dengan
hukum Negara aktifitas apa saja diniati lillâh melaksanakan perintah
Allah. Ajaran Wahidiyah itu adalah ajaran Islam yang dikemas dengan ajaran
Wahidiyah. Berikut pernyataannya:
Kalau billah jelas
diterangkan aktifitas kita apa saja di samping kita niati hal itu sebagai
perintah ibadah itu harus disadari billah bahwa sesungguhnya manusia itu tiada
daya kekuatan apapun selain pertolongan dari Allah Swt.
Shalawat Wahidiyah bukan
thariqah atau aliran melainkan amalan Shalawat seperti amalan-amalan lainnya.
Hanya saja pengamalan, penyiaran dan pembinaannya dikordinir oleh lembaga PSW
dan disertai dengan bimbingan praktis yang disebut Ajaran Wahidiyah.[17]
Di dalam Wahidiyah tidak ada
istilah ijasah amalan. Karena sudah
diijazahkan secara mutlak oleh muallifnya. Yang terpenting bagi pengamal Shalawat
Wahidiyah itu sendiri bersedia mau mengamalkan Shalawat Wahidiyah 40 hari itu.
Sudah bisa dinamakan ijâzah. Jadi tanpa ada istilah ijâzah
tertentu sudah diakui sebagai murid.[18]
Wahidiyah bukanlah sebuah thâriqah,
Wahidiyah murni sebuah shalawat. Karena di
dalam tharîqah itu ada semacam baiat, sedang di Wahidiyah
itu tidak ada yang namanya baiat. Shalawat Wahidiyah boleh diamalkan
oleh anak-anak sedangkan di dalam tharîqah yang mengikutinya disyaratkan
sudah dewasa.[19]
E.
Manfaat Shalawat
Wahidiyah di Ponorogo.
Dalam interview dengan bapak
Abdul Basyir ketua II Pengurus Wahidiyah kecamatan Jenangan, kabupaten Ponorogo
dan beliau juga termasuk salah satu pengamal Shalawat Wahidiyah menjelaskan Bahwa
orang yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah sesuai dengan bimbingan dan ajaran
Wahidiyah, maka orang tersebut akan diberi banyak peningkatan lahir dan bathin.
Bathin diberi rasa kesadaran
untuk mengabdikan diri kepada Allah Swt sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Diberi rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Dan diberi rasa cinta kepada sesama
dan diberi kelapangan jiwa dalam mengatasi segala urusan.
Pengertian ma’rifat itu saya
simpulkan mendekatkan diri kepada Allah, sebab kalau kita lihat kata-katanya
ma’rifat ini adalah sebagai hamba Allah, otomatis kalau menyadari sebagai hamba
Allah, dia akan tahu kewajibannya sebagai seorang hamba.
Kalau tahu dia punya kewajiban sebagai
seorang hamba, otomatis ia tahu yang memerintah artinya tahu dengan Tuhan
menyadari dengan hukum-hukum Allah. Itulah ma’rifat.[20]
F.
Dana box
Penggalian dana dalam
perjuangan Shalawat Wahidiyah dengan sistem Dana Box. Dana box adalah termasuk
paket bimbingan dan tuntunan praktis dari Beliau muallif Shalawat Wahidiyah
secara rutin setiap hari menurut kemampuan, kesadaran, dan keikhlasan masing-masing. Semua pengamal
Shalawat Wahidiyah dianjurkan berdana box. Semua DPC (Dewan Pimpinan Cabang)
yang ada di Jawa Timur mempunyai sistem dana box termasuk DPC yang ada di kota Ponorogo saat ini. [21]
Berikut firman Al-qur’an dan
sabda Rasulullah Saw yang menjadi landasan dasar bershodaqoh atau berinfaq fii
sabiilah:
انفروا خففا وثقالا وجا هدوا باءموالكم
وانفسكم في سبيل الله ذالكم خير لكم ان كنتم تعلمون (التو بة ۶۱)
“Berangkat
kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah
(berjuang) dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik buat dirimu jika menyadari”[22]
Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh
Imam Turmudzi dari Aisyah ra.
كان احب العمل اليه ما دوم عليه وان قل (رواه التر مذي والنسائ
عن عائسة وام سلمة)
“Amal
perbuatan yang paling disukai oleh Rasulullah Saw adalah yang rutin dan
kontinyu meskipun sedikit”[23]
Sistem penggalian dana box
di Ponorogo dimulai dari pengamal Shalawat Wahidiyah itu sendiri. Di setiap
rumah pengamal Shalawat Wahidiyah supaya disediakan dana box (kotak dana)
paling sedikit satu buah. Boleh terbuat dari kayu, atau kaleng bekas. Penyediaan
kotak dana box diusahakan sendiri oleh kepala rumah tangga atau anggota, atau
diusahakan bersama-sama oleh PSW Desa atau jam’iyyah Shalawat setempat.
Setiap sebulan sekali dana
box tersebut diambil dan disetorkan oleh petugas pengumpul dana box yang
disingkat Gaspul. Gaspul mempunyai tugas dan tanggung jawab mengontrol
tersedianya kotak Dana box di rumah-rumah pengamal Shalawat Wahidiyah di desa
atau lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengambilan dana box
dilakukan setiap bulan. Dari dana tersebut di setorkan ke PSW Desa, dari PSW
desa kemudian disetorkan ke tingkat PSW kecamatan, dari PSW kecamatan kemudian
disetorkan ke DPC Ponorogo. Dari DPC Ponorogo disetorkan ke DPW (Dewan Pimpinan
Wilayah) Sholawat Wahidiyah. Dari DPW disetorkan ke DPP (Dewan Pimpinan Pusat)
Sholawat Wahidiyah.
Dari dana box yang terkumpul
mulai gaspul PSW Desa sampai ke DPW Wilayah masing-masing mendapat bagian 15% dari dana yang
terkumpul. Selebihnya dari dana box
tersebut di salurkan ke DPP PSW Pusat. Berikut keterangan mengenai alokasi
pembagian Dana Box .[24]
- Tujuan Dana Box
a.
Secara rutin
mendermakan dan mengikut sertakan sebagian rizki yang diterimanya dari Allah
untuk perjuangan Shalawat Wahidiyah.
b.
Selalu ingat dan
peduli dan merasa ikut tanggung jawab terhadap kebutuhan.
c.
Merealisasikan syukur
kepada Allah dan Rasul-Nya atas karunia yang telah diterimanya berupa
perjuangan Wahidiyah.
d.
Melatih diri dan
keluarganya untuk menabung, menghemat dan menghargai sekecil apapun dari
pemberian Allah Swt.
e.
Mempererat hubungan antara
pengamal Wahidiyah dengan PSW-nya.
f.
Untuk menghimpun dana
perjuangan Wahidiyah dari pengamal Shalawat Wahidiyah.
- Pengisian Dana Box di Ponorogo.
a.
Dilakukan oleh setiap
pengamal Shalawat Wahidiyah, baik yang duduk di jajaran PSW di semua tingkatan
atau tidak.
b.
Dalam suatu keluarga
pengisian dana box dapat dilakukan dari salah satu anggotanya, akan tetapi yang
lebih baik dan sangat dianjurkan, masing-masing anggota keluarganya mengisi
dengan sendiri-sendiri.
c.
Bagi personel Penyiar
Shalawat Wahidiyah di semua tingkatan menjadi sponsor, contoh bagi yang
lainnya. [25]
[1]
Pemkab Ponorogo Jawa Timur, Grebeg Suro Kota Reog Ponorogo, (Tanpa Penerbit: 2006),
7.
[5]
Lihat Transkip Wawancara nomor 01/O/F-6/19/V/2010.
[6]
Lihat Transkip Dokumentasi 01/O/F-4/19/V/2010.
[8]
Lihat Transkip Dokumentasi 01/O/F-2/19/V/2010.
[10]
Lihat Transkip Wawancara nomor 01/O/F-12/23/IV/2010
dalam skripsi ini.
[11]
Lihat Transkip Dokumentasi 01/O/DF-12/23/IV/2010
[16]
Lihat Transkip Wawancara nomor: 01/0F-5/23/III/2010 dalam lampiran skripsi ini.
[19]
Lihat Transkip Wawancara nomor:
01/O/F-2/21/II/2010 dalam skripsi ini.
[20]
Lihat Transkip Wawancara nomor:
01/O/F-11/21/II/2010 dalam skripsi ini.
[21]
Lihat Transkip Wawancara nomor:
01/O/F-7/16/VI/2010 dalam skripsi ini.
[22]
Al-Qur’an, 9: 41.
[23]
Muhammad Ibn Isa Abu Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzî jld III (Beirut: Dar Ihya’
Al-Turats Al-Arabî, Tanpa Tahun), 165.
[24]
Lihat Transkip Dokumentasi 01/O/D/F-7/7/VI/2010
[25]
Lihat Transkip Wawancara nomor:
01/O/F-7/1/VI/2010 dalam lampiran skipsi ini.