Sabtu, 25 Agustus 2012

ANALISIS PRAKTEK SHALAWAT WAHIDIYAH DI PONOROGO


Oleh: Asngari, Sth.I

A. Gambaran Pengamalan Shalawat Wahidiyah di Ponorogo.
1. Bacaan nida’ yâ Sayyidî yâ rasûlullah.
Seperti yang telah dijelaskan di bab ketiga munculnya bacaan Shalawat Wahidiyah di Ponorogo tidak utuh secara langsung. Hal itu dikarenakan faktor yang melatarbelakanginya, seperti pada saat itu marak muncul pemberontakan G 30 S PKI. Untuk membentengi pemuda di Ponorogo diadakan gembelngan-gemblengan jasmani dan mujâhadah. Pada saat itu muncullah Shalawat Wahidiyah yang di awali dengan bacaan nida’ yâ sayyidî yâ rasûlullah.
Seruan nida’ kepada Rasulullah dengan panggilan yâ sayyidî yâ rasûlullah tidaklah berarti menyamakan Allah dan Rasulullah. Akan tetapi, panggilan yâ sayyidî yâ rasûlullah adalah penyebutan tawâsul kepada rasûlullah, perantara mendapatkan syafâ’at, dan perantara melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Syekh Yûsuf an-Nahbâni menyatakan: membaca yâ Sayyidî adalah ibadah karena yang membaca shalawat pasti bermaksud dengan shalawatnya, untuk ta’dhîm kepada Rasulullah sehingga meninggalkan bacaan yâ sayyidî pada saat itu tidaklah ada artinya karana bacaan yâ sayyidî adalah inti pengagungan.
2. Tentang bacaan sayyidinâ
Secara bahasa, term sayyid mengandung arti orang yang tinggi (termulia) dari pada yang lain. Sebagaimana orang yang tinggi kedudukannya di suatu desa dinamakan sayyid al-qaryah dan orang yang tertinggi di suatu Negara disebut dengan sayyid al-balad.
Dalam tradisi sunni, kata sayyidinâ sering dilafalkan ketika membaca sholawat atau ketika menyebut Nabi Muhammad. Kata itu merupakan tambahan yang diberikan oleh pada sahabat Rasul, sebagai bentuk rasa ta’dhîm (mengagungkan) dan mahabbah (cinta) kepadanya. Dalam pandangan kaum sunni, sudah sewajarnya umat Rasulullah menyebutnya dengan kata sayyidinâ, atau kata lain yang semakna dengannya, seperti kata kanjeng, gusti, dan baginda. Semua itu dimaksudkan untuk mengagungkan baginda nabi dan sebagai wujud rasa mahabbah terhadapnya. Hal itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah status nabi sebagai utusan Allah.
3. Praktek mujâhadah di Ponorogo.
Dalam wawancara dengan Luthfi Badawi Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang PSW Ponorogo, Secara Umum kegiatan mujâhadah di Ponorogo terbagi menjadi dua bagian. Pertama mujâhadah yang sifatnya baku. Kedua, mujâhadah yang sifatnya tidak baku.
a. Mujâhadah yang sifatnya baku
Mujâhadah yang sifatnya baku adalah mujâhadah yang jenis kegiatannya seperti lokasi kegiatan mujâhadah dan waktu pelaksanaannya di jelaskan secara rinci. Dan kegiatan tersebut telah disetujui oleh pengurus PSW. Baik PSW tingkat kecamatan atau PSW tingkat Kabupaten Ponorogo. Sebagaimana yang telah peneliti diungkapkan di bab tiga.
b. Mujâhadah yang tidak baku
Mujâhadah yang tidak baku adalah mujâhadah yang jenis pelaksanaanya tidak dijelaskan secara pasti (kondisional), dan tempat dan waktu pelaksanaanya tidak ditentukan secara pasti. Kegiatan mujâhadah di Ponorogo tersebut diperuntukkan bagi remaja dan kanak-kanak. Dalam rangka mendidik mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dan dalam pernyataan yang lain beliau menjelaskan tidak sekedar mujâhadah saja, di dalam mujâhadah tersebut diadakan mauidhah hasanah yang di isi secara langsung oleh pengurus PSW. Baik dari pengurus PSW Kabupaten Ponorogo atau dari PSW kecamatan. Tema yang di angkat dalam mauidhah tersebut bisa bervariatif. Tergantung bulan pelaksanaan mujâhadah tersebut. Seperti halnya jika mujâhadah tersebut dilaksanakan pada bulan Maulûd, maka tema yang diangkat seputar peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, dan lain sebagainya.
Secara umum pernyataan tersebut tidaklah berselisihan dengan praktek yang ada di dalam mujahadâh Wahidiyah. Akan tetapi jika dicermati lebih mendalam, mujâhadah yang sifatnya baku dan mujâhadah yang sifatnya tidak baku tersebut tidaklah sesuai dengan pedoman amalan Shalawat Wahidiyah.
4. Manfaat Mujâhadah
Dalam Shalawat Wahidiyah, mujâhadah diajarkan secara tegas dan ditradisikan oleh para pengamalnya secara intensif. Hal tersebut tersebut bisa dilihat dari jadwal rutin kegiatan mujâhadah rubu’ as-sanah di kota Ponorogo.
Pertama, mujâhadah dijadikan sebagai ungkapan tauhid setiap pengamal Shalawat Wahidiyah ke haribaan Allah, kerinduan kepada Rasulullah, dan penghormatan kepada ghauts hâdza az-zamân yang telah memperoleh amanat dari Allah untuk melakukan reformasi ruhani dan akhlak umat manusia.
Kedua, mujâhadah juga merupakan wujud kepedulian para pengamal Shalawat Wahidiyah untuk melanjutkan perjuangan muallif. Setiap murid muallif Shalawat Wahidiyah berkeyakinan bahwa dirinya memperoleh amanat dari muallifnya untuk meneruskan perjuangannya, yakni mengajak orang lain untuk bersama-sama memperbaiki diri demi memperoleh ridho Allah. Usaha ini diwujudkan dalam bentuk mujâhadah secara sungguh-sungguh dan dilakukan secara istiqâmah, juga dengan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah dan berakhlak terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya dengan akhlak yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Ketiga, mujâhadah merupakan upaya setiap pengamal Shalawat Wahidiyah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan para pengamal Wahidiyah dengan Allah ini diyakini akan menjadikan Allah mengabulkan apa yang menjadi tujuan mulia dalam hidup pengamal. Akan tetapi, hal itu tetap ditempatkan para perkenan Allah sendiri, tidak dijadikan sebagai target permohonan pelaku mujâhadah. Artinya, apakah Allah akan mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan hambanya, semua tergantung pada kehendak Allah.
Keempat, mujâhadah merupakan simbol usaha diri. Dalam usaha diri terkandung makna mengutamakan kewajiban usaha, dan bukan sekedar usaha, melainkan juga usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam rangka pencapaian ridha Allah.
B. Dasar Amalan Shalawat Wahidiyah
1. Dalil Al-Qur’an Surat al-Ahzab: 56
Tak ragu lagi, Shalawat adalah murni ritual ibadah Islam. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah sebagai berikut.
ان الله وملئكته يصلون علي النبي ياْيها الذين امنوا صلواعليه وسلموا تسليما.
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya membaca shalawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman bacalah shalawat dan sampaikan salam dan hormat sebaik-baiknya kepadaNya”.

Dalam ayat tersebut Allah menyampaikan kalimat afirmatif "shallu (bershalawatlah kamu)" yang mengindikasikan kewajiban membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian setelah Jumhûrul fuqoha' melakukan penjelajahan intelektual akhirnya mereka menyimpulkan ada dua hukum dalam membaca shalawat: wajib dan sunnah.
Menurut Hanafiyah dan Malikiyah, hukum membaca shalawat pada tasyahud akhir adalah sunnah. Pendapat ini didukung oleh ulama' Madinah, ulama' Kuffah dan beberapa ulama' yang lain.
Sedangkan menurut Syafi'iyyah, kita wajib membaca shalawat setiap kali melakukan sholat, tepatnya ketika melakukan tasyahud. Selain itu, shalawat harus juga dibaca ketika takbir kedua daam sholat jenazah, dalam dua khutbah jum'at dan dua khutbah Hari Raya. Selain itu, shalawat tidak diwajibkan.
2. Dalil Al-Hadits.
Shalawat Wahidiyah berakidahkan Ahlussunah Waljamaah berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bapak Syahro Wardi Dewan Pimpinan Cabang Penyiar Shalawat Wahidiyah Ponorogo. Berikut penyataan dai beliau;
Mengenai landasan aqidah Ahlus sunnah waljamaah itu pengambilannya tetap Al-Qur’an dan Hadits. صلو عليه وسلموا تسليما ya Al-Qur’an dan Hadits, otomatis dengan Ijma’, Qiyas Ahlu Sunnah waljama’ah itu kan sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadits. Qur’an dan Hadits itu pedoman yang prinsip kemudian dijabarkan oleh para ulama’. Hadits ini..,.manfa’atnya sholawat ini.., Ahlus sunnah waljamaah itu juga kumpulan dari kumpulan ulama’. Dan ulama’ sudah merestui semua.

Dari pernyataan tersebut di atas tidaklah berbeda dengan sabda Nabi berikut. Bersabda Rasulullah Saw:

من صلي علي صلاة صلي الله تعا لي عليه عشرصلواة وخطت عنه عشر خطيئا ت ورفعت له عشر درجا ت
“Barangsiapa membaca shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan membalas membacakan shalawat kepadanya sepuluh kali, dan Allah menghapus sepuluh kesalahannya dan diangkat derajatnya sepuluh kali”

Syafâ’at Rasulullah terjadi di dunia dan akhirat. Syafa’at rasul di dunia yang paling berharga dan tidak ternilai adalah iman dan Islam di dada setiap mukmin. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa syarî’at dan tuntunan Rasulullah adalah wujud dari syafâ’atnya.
Adapun syafâ’at Rasulullah di akhirat kelak, atau yang biasa disebut dengan asy-syafâ’ah al-‘udhmâ, adalah pertolongan agung yang sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia di padang mahsyar kelak. Pada saat itu, seluruh umat manusia sejak dari Nabi Adam sampai manusia yang terakhir akan dikumpulkan. Di dalam peristiwa dahsyat di padang mahsyar tersebut, timbul kepanikan yang sangat memuncak. Semua manusia sibuk mencari pertolongan kepada para nabi, mulai dari Nabi Adam hingga nabi terakhir sebelum Nabi Muhammad. Akan tetapi, mereka semua tidak bisa memberi pertolongan. Pada saat itulah Rasulullah Muhammad tampil memberikan pembelaan dan pertolongan kepada umat manusia dengan bersujud memohon ampunan dan kasih sayang Allah. Dan, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang pun akhirnya berkenan mengabulkan munâjat nabi dan kekasih-Nya, Muhammad Rasulullah. Ini yang dimaksud dengan as-syafâ’ah al-‘udhmâ.
Maka jelaslah bahwa ada di antara hamba Allah yang diizinkan dan diridhai untuk memberikan syafâ’at; dan kita berkeyakinan bahwa Muhammad Saw adalah hamba Allah yang diberi mandat penuh oleh Allah untuk memberikan syafâ’at kepada umatnya.
Shalawat Allah yang disampaikan pada Nabi berarti rahmat dan kemuliaan. Kemudian shalawat dari malaikat berarti permohonan rahmat dan ta’dzîm. Sedangkan shalawat malaikat kepada selain Nabi berupa do’a permohonan rahmat dan ampunan. Sedangkan shalawat dari manusia berarti permohonan rahmat bagi Nabi Saw dan mengagungkan beliau.
3. Azaz Ahlus Sunnah Waljamaah.
Sebagaimana yang dinyatakan di bab ketiga bahwa shalawat Wahidiyah adalah murni merupakan amalan Shalawat yang biasa dilakukan oleh umat Islam. Peneliti melihat suatu hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan ritual yang dirumuskan oleh Shalawat Wahidiyah. Seperti yang ada di Ponorogo. Berdasarkan interview singkat dengan Bapak Mustafa Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) Penyiar Shalawat Wahidiyah yang ada di Ponorogo tersebut muncul keterangan menarik bahwa amalan Shalawat Wahidiyah ini berpedoman pada Ahlus Sunnah Wal Jamâ’ah. Dan yang menyusun amalan ini memang ulama Indonesia.
Dari sumber data yang lain, peneliti mendapatkan keterangan dari salah satu pengurus DPW Jawa Timur Bapak Budi santoso yang juga termasuk pengasuk pondok pesantren Sarwani Ngrupit Jenangan Ponorogo, beliau menyatakan bahwa Orang yang suka membaca Shalawat bisa dikategorikan sebagai Ahlus Sunnah Waljama’ah. Begitu juga dengan para pengamal Shalawat Wahidiyah termasuk ciri khas yang tidak bisa dipungkiri dalam arti orang yang cinta kepada Rasullullah.
Abdullâh Ibn Abdillâh Al-Hamîd Al-Atsarî, dalam bukunya Ringkasan keyakinan Islam Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jamâ’ah adalah golongan yang perpegang kepada Sunnah Nabi Saw dan sahabat-sahabatnya beserta orang-orang yang mengikuti golongan tersebut dan berjalan di dalam perkara aqidah, perbuatan dan orang yang dalam ittiba’. Mengikuti mereka adalah petunjuk dan menyelisishi mereka adalah kesesatan.
Ciri khusus Ahlus Sunnah wal Jama’ah di antaranya [1] mereka adalah orang yang berpijak pada prinsip pertengahan dan keseimbangan, antara sikap berlebihan dan sikap terlalu longgar; [2] mereka membatasi jalan pengambilan agama hanya dari Al-Kitab dan As-Sunnah; [3] mereka tidak memiliki imam agung yang diikuti semua perkataannya dan ditinggalkan semua yang menyelisihinya, kecuali Rasulullah Saw; [4] mereka meninggalkan bantah-bantahan dalam perkara agama, meninggalkan perselisihan dalam masalah-masalah halal haram, dan mereka masuk ke dalam agama secara menyeluruh; [5] mereka menghormati Salafus Shalih. Mereka meyakini bahwa metode Salafus Shalih lebih selamat, lebih mengetahui dan lebih kokoh.
Dalam pernyataan lain para ulama’ mengatakan, bahwa golongan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah sejak permulaan sampai kini senantiasa merupakan golongan terbesar. Dengan demikian, maka tidak salah, bahwa golongan Ahlus Sunnah merupakan golongan yang selamat yang tetap berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits) dan apa yang diikuti oleh para sahabat, tabi’in dan pemuka-pemuka para imam ahli ijtihad yang mereka ini merupakan generasi terdahulu dari umat Nabi Muhammad Saw.
Adapun dalil-dalil yang menetapkan bahwa as-Sunnah menjadi hujjah bagi kaum muslim sebagai sember hukum ialah:
Pertama, Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslimin agar mentaati Rasulullah. Dengan ungkapan yang berbeda-beda. Seperti fiman Allah dalam ali-Imran: 32
قل اطيعواالله والرسول فاءن تولوا فاءن الله لا يحب الكافرين (العمران ۳۲)
Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasulnya, jika kamu harus berpaling, sungguh Allah tidak menyukai orang kafir” .

Kedua, as-Sunnah. Tidak sedikit jumlah hadits-hadits Rasulullah Saw yang memerintahkan agar kaum muslimin selalu berpegang kepada Sunnah Rasulullah.
Sabda Rasulullah Saw:
من سن سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها الي يوم القيا مة ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزرمن عمل بها الي يوم القيا مة
“Barangsiapa membuat sunnah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barangsiapa membuat sunnah yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat”.

Kata sunnah diambil oleh para ulama’ Islam dari al-Qur’an dan bahasa, yang kemudian digunakan bagi suatu pengertian yang lebih khusus ketimbang sekedar pengertian kebahasaan. Yakni, cara yang lazim dilakukan dalam amalan keagamaan, atau dengan ungkapan lain, suatu bentuk pelaksanaan perintah-perintah Al-Qur’an yang telah dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya sesuai petunjuk-petunjuk dan maksud-maksud yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an. Kata-kata lain yang hampir sama artinya dengan kata Sunnah adalah: sabîl (jalan), sirâtb (jalan), tharîqah (metode/cara), tharîqu ‘l- mustaqîm (jalan yang lurus).
Kata sanna berarti menciptakan sesuatu dan mewujudkannya menjadi suatu model. Kata tersebut juga diterapkan untuk memperagakan tingkah laku. Suatu tingkah laku yang patut dicontoh dapat dimulai dengan membuat model atau mengambil praktrik nenek moyang suatu suku atau komunitas.
Asy Syâtibi menerangkan bahwa: Perkataan “As-Sunnah” dipakai menjadi nama bagi yang dinukilkan dari Nabi Saw, baik menjadi penerang bagi isi Al-Qur’an ataupun tidak. Dan dipakai pula menjadi nama bagi “amalan shahabat” (yang disepakati para shahabat, atau amalan mereka yang tidak mendapat bantahan dari sesamanya).
Ada tiga dasar pegangan Ahlu Sunnah dalam pengetahuan dan agama. Pertama, Alqur’an. Firman terbaik dan paling benar yang mengandung petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, mereka tidak mengutamakan ucapan siapa pun dari pada Al-Qur’an. Kedua, Sunnah Nabi Saw serta petunjuk dan ajarannya. Mereka memegang teguh sunnah itu dan tak akan menggantinya dengan ajaan apapun. Ketiga, ijma’. Menurut bahasa adalah tekat dan kesepakatan. Ijma’ merupakan argumentasi berkata putus. Ijma’ yang kuat adalah keputusan ulama’ salaf, sebab setelah mereka banyak pertikaian terjadi.
Sunnah menurut ahli fiqh adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw berupa perkataan, ketetapan yang berkaitan dengan hokum. Sedangkan Sunnah menurut para ahli fiqh adalah perbuatan apa saja yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa (tidak berdosa).
Al-Sunnah, mula-mula diberi pengertian identik dengan hadits Nabi Muhammad Saw. Ahlus Sunnah, dengan begitu berarti orang-orang yang mengikuti dan mengamalkan hadits Nabi Muhammad. Sedang kata al-jamâ’ah oleh al-Zubaidi diartikan sebagai cara hidup dan berpikir para Sahabat Nabi Saw. Tetapi Syâtibi dalam al-I’tishâm menyebutkan al-jamâ’ah dalam berbagai pengertian. Pertama, mayoritas besar kaum muslimin. Kedua, para ulama’ mujtahid. Ketiga, para Sahabat Nabi Saw. Keempat, kesepakatan orang Islam. Kelima, golongan kaum muslimin dengan satu pemimpin.
Term Ahli Sunnah dan Jama’ah yaitu golongan yang berpegang pada sunnah sebagai lawan dari bagi golongan Mu’tazilah yang minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah. Sebagaimana diterangkan oleh Ahmad Amin, Ahli Sunnah dan Jama’ah berlainan dengan kaum Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadits-hadits sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syarî’ah al-Mahbûbi yaitu ‘ammah al-Muslimin (umumnya umat Islam) dan al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâ al- a’dham (jumlah besar dan khalayak ramai).
Aqidah Salaf as- Shalih menghubungkan seorang Muslim secara langsung dengan Allah dan Rasul-Nya Saw dengan kecintaan dan pengagungan keduanya serta tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya Saw (dalam menetapkan suatu hukum). Yang demikian itu, karena aqîdah Salaf sumber hukumnya adalah firman Allah dan Sabda Rasul-Nya, jauh dari permainan hawa nafsu dan syubhât serta bersih dari pengaruh-pengaruh luar; baik itu filsafat, ilmu kalam maupun rasionalisme. Jadi sumber aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah tiada lain kecuali al-Qur-an dan as-Sunnah.
Ahlus Sunnah wal Jamâ'ah adalah golongan yang selamat dan kelompok yang dimenangkan oleh Allah. Sekalipun ada perbedaan tingkat di antara mereka namun mereka mempunyai ciri-ciri khusus dan sifat-sifat utama yang membuat mereka berbeda dari golongan lain. Antara lain:
1. Mengikuti sunnah, meninggalkan bid'ah dan menjauhkan diri dari perpecahan serta perselisihan dalam agama.
2. Berda'wah kepada Allah, beramar ma'rûf nahî munkar, berjihad, menghidupkan sunnah, berusaha untuk tajdîd agama serta menegakkan syarî'at dan hukum Allah dalam segala urusan yang kecil maupun besar.
3. Mencontoh dan mengikuti jejak para ulama’ salaf as- shalih yang dapat dipercaya. Yang dicontoh adalah suri teladannya dalam ilmu, amal dan dakwah. Para ulama’ salaf as- shalih itu adalah para shahabat serta orang-orang yang mengikuti manhajnya. Di samping itu juga menjauhi orang-orang yang menyalahi jalan mereka.
4. Senantiasa menjaga kesatuan sikap umat Islam dan mempersatukan barisannya atas tauhid dan ittibâ' (mengikuti sunnah). Di samping itu juga menjauhkan setiap faktor yang dapat menyebabkan pertentangan dan perselisihan di antara umat. Tidak memiliki keistimewaan atas umat dalam prinsip-prinsip agama, kecuali dengan sebutan Sunnah Wal Jama'ah.


0 komentar: