Oleh: Asngari, S.Th.I
Buku ini lebih pas
dikategorikan sebagai kritik internal kalangan muda NU dan pemikir tua yang
bergairah muda atas praktek bahsul masail. Satu institusi NU yang menjawab
persoalan-persoalan sosial yang muncul di masyarakat. Imam yahya , marzuki wahid, sumanto al qurtubi,
adalah bagian dari anak-anak muda NU yang memiliki kegelisahan intelektual
melihat praktek bahsul masail [BM] yang tidak mampu menjawab persoalan modern
seperti kemanusiaan, lingkungan hidup, kesehatan, koorupsi, dan permasalahan
kekinian lainya. Sementara KH,husein muhammad termasuk generasi tua NU tetapi
memiliki pemikiran progresif dan maju.
Lembaga bahsul masail NU [ LBMNU] memiliki kedudukan yang terhormat di
mata orang NU karena fungsinya yang sangat fundamental menjawab kedudukan hukum
dari kaca mata fiqh atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. LBMNU
memberi jawaban halal atau haram yang menjadi pedoman bagi warga NU.
Warga NU menempatkan fiqh diatas ilmu-ilmu lain seperti ahlak dan
tasawuf. Fiqh menentukan apa
yang boleh dikerjakan dan apa yang dilarang. Fiqh menyediakan perangkat pedoman
hidup bagi umat islam. Karena saking sentralnya fiqh bagi warga NU maka
meberadaan LBMNU sebagai pemegang otoritas atas fiqh menentukan kecenderungan
fiqh warga NU. Dengan begitu corak keberagaman warga NU dapat di lihat dari
corak pemikiran LBMNU.
Keberadaan LBMNU sebagai
wahana ijtihad ulama NU, baik dari sisi historis maupun operasionalnya, menurut
KH. Sahal mahfud merupakan forum yang dinamis, demokratis dan berwawasan luas.
Bersifat dinamis karena persoalan yang di bahas selalu mengikuti perkembangan/
tren perkembangan hukum yang ada di masyarakat. Lembaga ini tidak membedakan
kyai dan santri, tua ataupun yang muda. Mereka yang memiliki paling kuat yang
digunakan. Lembaga ini juga berwawasan luas karena tidak ada dominasi mazhab
dan sepakat dalam perbedaan pendapat [khilaf]
Memang sudah semestinya
lembaga yang bergerak dalam ijtihad fiqih mengikuti pendapat rois Am PBNU itu.
Kenapa demikian? Fiqh adalah produk ijtihad ulama yang bisa saja berbeda antara
satu orang dengan yang lainya. Satu tempat dengan tempat yang lainya. Itulah
karakter dasar dari fiqh, fleksibel, dinamis.
Fleksibilitas fiqh ini
tidak berarti menggesernya dari kedudukan nya sebagai ilmu yang paling di
utamakan warga NU. Karena NU menyadari kenyataan perkembangan zaman yang tidak
dapat dibendung sementara nash-nash agama, sebagai acuan untuk menentukan kedudukan hukum persoalan
dimasyarakat sudah terhenti pewahyuanya. Sehingga terjadi kesenjangan antara
persoalan sosial yang timbul dan keberadaan nash-nash yang terbatas. Karena itu lah ijtihad sangat urgen untuk
menjembatani kesenjangan itu. Di kalangan pesantren kesenjangan itu sudah
lumrah diketahui yang di katakanya: lianna al nusus mutanahiyah wal hawadis
ghoiru mutanahiyyah [ nash-nash sudah terhenti pewahyaunya, sementara persoalan
kehidupan selalu malaju dan berkembang]
Problem
Sebagai forum pengkajian
dan ijtihad kalangan NU, betul BM adalah
intitusi yang dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Ia dapat di
hadiri oleh siapapun baik yang berlatar belakang kyai ataupun santri tua maupun
muda. Terbuka dialog dan perdebatan di dalamny, tersedia berbagai argumentasi
yang di butuhkan yang di sediakan baik dalam kitab-kitab klasik maupun modern. Meski demikian BM tasak mampu beranjak dari
pendapat-pendapat mazhab yang tersedia di dalam kitab-kitab klasik. BM aeolah
tidak mampu keluar dari dominasi mazhab yang tersedia dalan kutub
al-muktabarah. Bahkan al-kutub al muktabarah yan di pakaipun tidak banyak
memanfaatkan kitab-kitab yang dikarang oleh pendiri mazhab, seperti Al-Um karya imam syafii. Justru kitab-kitab karya
imam nawawi, Nihayat al Muhtaj karya Imam Ramli, Mugni al Muhtaj karya Imam
Syarbini, al Muharrar karya Imam Rofi‘i, Inganah Tolibiin karya Imam Dimyati
dan kitab-kitab lainya yang bermadhab Syafi‘iyah.
Kecenderungan BM terpaku
pada pendapat mazhab ini sudah berlangsung cukup lama dan seolah-olah ada
ikatan dinas. BM dengan alkutub al muktabarah itu. Adalah tidak salah
mengambil pendapat ulama terdahulu untuk menjawab persoalan modern. Hanya saja
qaul yang di sediakan dalam kutub muktabarah itu tidak mamu menjawab persoalan
modern, karena kitab-kitab itu di karang dalam waktu yang berbeda dengan
kondisi sekarang. Tidak semua persoalan ada jawaban nya dalam al kutub al
muktabarah atau jika pun ada belum tentu relevan dengan perkembangan zaman.
Karena itu sangatlah naïf jika memaksa qaul kekinian, sementara metodologi
mazhab di abaikan.
Bermadhab Secara Manhaji
LBMNU telah menetapkan prosedur
pengambilan keputusan dalam lembaga itu. Langkah pertama dengan taqriri jama’i.
cara ini di gunakan untuk menjawab persoalan kehidupan dengan merujuk jawabanya
dengan mengutip sumber fatwa dari kitab-kitab rujukan [al-kitab al-muktabarah
]. Cara demikian hanya dengan menetapkan yan ada dalam kitab, karena pendapat
mereka [ qaul fiqh ] masih relevan dengan kondisi sekarang tanpa perlu
pengkajian dan kritik.
Cara kedua dengan ilhaq al-masail bi nadzoriha. Langkah ini di
lakukan dengan cara mempersamakan persoalan fiqh yang belum di temukan
jawabannya dalam al kutub al muktabarah secara tekstual dengan persoalan yang
sudah ada jawabannya.
Langkah pertama dan kedua menunjukkan sikap taklid dan ketidakberanian
kalangan NU untuk beranjak dari dari qaul madzhab. Baik langkah pertama dan
kedua tetap merujuk pada qul madzhab.
Yang sebenanya di perlukan ulama NU
sekarang adalah tidak saja menggunakan qaul madzhab tetapi yang
terpenting adalah menggunakan manhaj mazhab dalam mengambil keputusan. Manhaj
madhaz, baik yang dituangkan dalam ushul fiqh maupaun qawaid fiqh. Sudah
semestinya di gunakan kalangan NU dalam menjawab persoalan kekinian.
Dalam mengguanakan manhaj madzhab ulama NU dapat langsung merujukapada
sumber-sunber syariat [alquran dan al hadis]
dalam melakukan istimbat hukum. Dalam mengguankan manhaj ini tidak berarti NU keluar dari madzhab. Ia
tetap bermadzhab tetapi tidak semata qauli tetapi manhaji.
Resensi Buku
|
|
Judul buku
|
Kritik nalar Fiqh
NU
|
Tranformasi Paradigma
|
|
Bahsul Masail
|
|
Editor
|
: M imdadun Rahmat
|
Penerbit
|
: PP.
lakpesdam NU
|
Agustus
2002, cetakan I
|
|
Tebal
|
: 278+
XXVI
|