Jumat, 21 September 2012

Optimali Peran Pesantren Ramadhan

oleh: Asngari

Telah menjadi realitas public  bahwa perkelahian antara pelajar dan remaja kian hari kian memprihatinkan.
 Tidak secara dalam aspek kuantitas pun mengalami peningkatan kearah yang memprihatinkan.
 Dahulu orang berkelahi cukup dengan saling pukul dan setelah itu selesai
Sedangkan sekarang ini perkelahian sudah mengarah pada tindakan kriminalitas.
Perkelahian tidak jarang berakir dengan pembunuhan.
 Lebih dari itu, perkelahian sering kali berkembang ke arah rasa dendam yan berkepanjangan dan makin melibatkan banyak pihak.

Sesuatu yang sangat ironis, perkelahian tersebut tidak saja dilakukan oleh pelajar-pelajar di sekolah umum, yang nota bene mendapatkan pendidikan agama dan moralitas. Namun sekarang ini sekolah yang berlebelkan Optimali Peran Pesantren Ramadhan
Oleh: Asngari, S.Th.I

agama, baik yang yang berada di naungan pemerintah [baca: Depag] ataupun sekolah swasta yang berada dalam naungan ormas islam [ baik nahdlotul ulama, muhammadiyah dan sebagainya]

Dalam perkelahian pelajar lembaga pendidikan biasanya cenderung enggan di persalahkan. Atau paling tidak sebagai pihak yang paling bertangguang jawab, sebab sering kali perkelahian terjadi pada jam sekolah atau bubaran sekolah. Dengan beragam alasan yang argumentatif lembaga sekolah justru sering menyudutkan orang tua murid dan lingkungan masyarakat sebagai pihak yang memiliki andil bagian dalam mempertanggungkan kerusakan pelajar ini.

Tiga sumber kelemahan
Terlepas dari sikap saling menyalahkan dan menyudutkan ini, kalau semua mau berfikir jernih dan obyektif sebenarnya  telah tersimpan benih kelemahan dalam pembinaan moral pelajar. Baik yang di lakukan oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dan ketiga benih kelemahan tersebut tidaklah saling berdiri sendiri-sendiri. Namun saling berkorelasi positif. Dimana salah satunya biasanya karena tidak adanya komunikasi yang baik antara orang tua siswa, sekolah dan masyarakat sekitar.

Pertama lingkungan keluarga. Diakui atau  tidak mayoritas orang tua pelajar memiliki keterbatasan dalam menyiapkan perangkat pendidikan moral anak. Selain karena anak yang tumbuh remaja waktu dirumah semakin sempit dibandingkan waktu di luar rumah bersama teman-teman sebayanya, juga pemahaman tentang agama, khususnya dalam persoalan aqidah dan ahklaq dalam tataran yang sangat memprihatinkan.
Dalam era modernitas ini, konstruksi berfikir orang tua berada di keserba materialistik, kapitalistik, dan hedonistik. Paradigma religius yang berada di alam pikiran orang tua mengalami penyempitan makna. Kondisi ini mempengaruhi arah pendidikan anak di dalam keluarga. Anak di lingkungan rumah tangganya sering kali di didik tentang bagaimana agar kelak lebih dapat di terima di dunia kerja. Sedangkan pendidikan agama cenderung  di pandang sederhana. Di sisi lain sebagian keluarga yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan religi anak-anaknya cenderung hanya bersifat normatif. Dengan demikian, pendidikan agama yang di ajarkan di keluarga relative bersifat kaku. Dan pada ahkirnya menyebabkan anak justru menjadi jenuh menjadi jenuh, tidak tertarik dan semakin berontak.

Kedua, lingkungan sekolah. Pendidikan agama yang di selenggarakan sekolah dalam kegiatan sehari-hari pun kurang menempakkan korelasi yang positif bagi perkembangan sifat religius anak. Pendidikan agama di sekolah umum sepekan hanya berdurasi dua jam pelajaran. Yang kadang itu terpungkas oleh libur fakultatif, guru yan tidak hadir, atau kegiatan sekolah yang menyita jam pelajaran. Di mana waktu dua jam perminggu tersebut tidak sebanding dengan gempuran-gempuran budaya hedonisme yang di sebarluaskan melalui beragam media. Dengan daya tarik yang sangat jauh di bandingkan dengan menariknya sosok guru sebagai pendidik.

Minimnya waktu pendidikan agama, ditopang lagi dengan pendidikan agama yang hanya menekankan pada rona kognitif. Padahal jika agama didekati dari sudut kognitif ini sama artinya dengan agama hanya sekedar sebagai ilmu empiris, yang mana posisinya sejajar dengan mata pelajaran yang lainnya. Hamper-hampir tidak ada usaha-usaha sekolah untuk menjadikan pendidikan agama sebagai system nilai dalam kehidupan sehari-hari., minimal di lingkungan sekolah. Dengan hanya menitik tekankan pada rona kognitif itulah akhirnya pelajaran agama dapat diajarkan oleh siapa saja, termasuk mereka yang tidak taat dalam beragama. Asalkan guru tersebut memiliki kompetensi dalam menyampaikan materi agama tersebut.

Guru agama, karena hanya menekankan pada rona kognitif seakan-akan telah terlepas tanggung jawab setelah menyampaikan bahan pelajaran yang menjadi bidangnya. Lingkungan sekolah tidak mampu dimanfaatkan oleh guru agama sabagai laboratorium social untuk melatih dan mentradiksikan anak didik agar kosisten dalam mempraktekkan tentang apa yan telah diketahui dan dipelajari.

Ketiga, lingkungan masyarakat. Harus diakui bahwa fungsi masyarakat sebagai elemen control social kurang berfungsi optimal. Masyarakat yang telah terkooptasi oleh budaya materialistik dan kapitalis hanya memiliki kepekaan sosial yang berkaitan dengan materi [baca: uang] . di sisi lain masyarakat justru telah kehilangan watak resah dalam merespon kebejatan-kebejatan moral, pelajar dan generasi muda. Sebaliknya, tidak jarang generasi tua justru berperan sebagai sosialisasi kebejatan moral. Dalam persoalan moralitas, masyarakat cenderung cuek dan mengembalikan persoalan penyimpangan moral sebagai persoalan personal atau pribadi.

Pesantren ramadhan
Terkait dengan persoalan di atas momentum ramadhan merupakan momentum yang sangat tepat bagi sekolah untuk membenahi moralitas pelajar. Sebab lembaga sekolah merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kesempatan untuk merangkai metode pendidikan moral dan agama secara sistematis.
Lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat secara umum dapat dikatakan sudah tidak dapat di harapkan peranya dalam membenahi moral generasi muda. Keluarga dan masyarakat, selain orientasi dominan semata-mata pada kekayaan material sehingga tidak peduli lagi terhadap kualitas keberagaman generasi muda juga karena minimnya pengetahuan agama serta kesadaran akan arti pentingnya agama bagi kehidupan di dunia dan akirat.

Sudah menjadi tradisi bahwa setiap bulan ramadhan sekolah- sekolah mengadakn kegiatan pesantern ramadhan atau biasa di sebut dengan pesantern kilat. Beragam model, teknik dan metode yang di terapkan. Mulai dari sekedar pembinaan agama secara penuh disekolah dengan sisttem menginap sampai dengan menitipkan siswa di pondok pesantren tertentu. Tujuanya hanya satu agar siswa dapat mendapatkan kesempatan belajar agama secara optimal. Rata-rata kegiatan semacam ini di lakukan selama tiga hari sampai seminggu.

Sasaran pesantren ramadhan
Terlepas dari tradisi yang dilakukan oleh sekolah –sekolah tertentu ada baiknya sekolah lebih memperhatikan materi, metode dan teknik yan hendak di sampaikan kepada siswa. Jadi tidak sekedar telah menjadi tradisi bahwa setiap ramadhan pasti ada pesantren ramadhan. Pesantren ramadhan harus memiliki pengaruh yan signifikan dalm hal rekonstruksi moral pelajar, di bandingkan dengan pendidikan agama diluar bulan ramadhan. Apalagi dalam kegiatan ini, sehari-harinya siswa secara kontinyu hanya belajar tentang masalah-masalah agama.

Karena itu sasaran pendidikan agama di dalam pesantren ramadhan tidak sekedar hanya menekankan pada rona kognitif belaka. Tetapi juga tidak boleh di abaikan tentang adanya rona efektif.  Dengan demikian siswa tidak sekedar tahu dan paham terhadap beragam nilai-nilai moral yan diajarkan agama, tetapi juga merasa memiliki tangguan jawab untuk mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.

Untuk menumbuhkan rasa sadar siswa akan tuntutan mempraktekkan nilai-nilai agama tersebut peran guru atau materi dalam hal teladan moral sangatlah berpengaruh. Dalam hal ini guru atau pemateri tidak dapat berperan secara otoriter. Penyampaian materi yang tidak semata-mata dogmatis tetapi juga realistis, argumentative, dan rasionalistik.

Dengan meminjam pendapat ali syariati ada tiga rona agama yang tidak dapat di  hilangkan salah satunya. Yaitu rona doktrin, rona wawasan [pengetahuan] dan rona penghayatan [penyadaran]. Berangkat dari ketigahal tersebut maka agama tidak dapat diajarkan secara dikotomis dan parsial, doktrin haruslah disinergiskan dengan wawasan dan atau penghayatan.

    Dengan sinergisme ini, tidaksaja menghapuskan persepsi bahwa agama adalah sesuatu yang irrasional, sebagaimana yang di kumandangkan freud manusia memeluk agama karena manusia belum mampu mempergunakan kekuatan diri dan akalnya secara maksimal. Juga menghindarkan pemahaman agama yang radikal dan kaku.

Dengan demikian diharapkan melalui pesantren ramadhan atau pesantren kilat tersebut, tidak saja dapat menambah wawasan siswa terhadap pengetahuan agama. Tetapi juga menumbuhkan kesadaran siswa untuk mempraktekkan atau mengamalkan norma-norma akhlak. Dan kembali lagi bahwa kuncinya adalah bagaimana guru memerankan dirinya secara tepat.