Rabu, 29 Agustus 2012

URGENSI KEMURNIAN NIAT PADA KEIKUTSERTAAN MASYARAKAT DALAM ORGANISASI THORIQOH (Tinjauan Theologis Terhadap Aliran Wahidiyah di Desa Jimbe Jenangan Ponorogo)

Oleh: Asngari, S.th.I 

A.    Latar Belakang
Islam mengenal tiga pokok ajaran utama, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ilmu yang mempelajari tentang Iman kemudian dikenal dengan sebutan Tauhid, Ushuluddin, atau Aqidah.  Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang Islam disebut dengan Fiqh. Dan ilmu yang mempelajari tentang Ihsan disebut dengan Akhlak, Tasawuf atau Thariqah.
Untuk dapat mempraktekkan Ihsan secara benar dikenal ada dua manhaj yang dapat dipilih sesuai dengan tuntunan Rasululloh Saw. Pertama, berusaha senantiasa melakukan ibadah seolah-olah berada dihadapan Allah Swt. Kedua, berusaha senantiasa melakukan ibadah seolah - olah dilihat oleh Allah Swt. Dan inilah dua manhaj tasawuf. Jadi apabila ada penerapan tasawuf dengan tidak memakai salah satu diantara dua manhaj ini jelas telah terjadi penyimpangan sistem.
Orang-orang Islam sepakat mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah mahluk yang menempati kedudukan tertinggi disisi Allah SWT. Tidak ada di sisi Allah kedudukan yang lebih tinggi dari Muhammad SAW. Tidak ada syafaat yang lebih besar dari syafaatnya Nabi Muhammad SAW.[1]
Pada prinsipnya tasawuf tidak boleh bertentangan dengan syari’at. Bertolak dari dasar Al-Qur’an da As-Sunnah dalam lapangan akhlak terutama akhlak kepada Allah yang berdasarkan kecintaan (hub) dan kasih, telah muncul pula berbagai aliran dalam lapangan tasawuf.[2]
Menata hati adalah bidang utama yang digarap dalam tasawuf. oleh karenanya menurut para ulama ahli tasawuf, dzikir adalah amaliah yang mesti dijalankan oleh para pelaku–pelakunya (salik). Karena dengan berdzikir maka seseorang salik akan ber-takhalli, tahali, dan tajalli.
Takhali adalah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan batin. Diantaranya sifat-sifat tercela yang mengotori jiwa manusia ialah dengki, iri, takabur dan beberapa penyakit batin lainnya.
Sedangkan tahalli adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan batin.  Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan dengan jalan membiasakan diri dengan  sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Dan tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati.[3]
Dalam menata aspek ruhaninya masyarakat muslim umumnya masuk menjadi anggota Thariqah. Di Indonesia banyak terdapat organisasi thariqah yang dapat diikuti oleh masyarakat yang menganggap bahwa menjadi anggota organisasi thariqah merupakan sebuah keharusan untuk lebih memantapkan diri dalam mendidik ruhaninya, mendekat kepada Allah Swt.
Sejak awal kemunculannya thariqah terus mengalami perkembangan dan penyebarluasan ke berbagai negeri, sejalan dengan tumbuh kembangnya aliran-aliran dalam thariqah. Dalam kitab Dairatul Ma'arif Al Islamiyyah disebutkan ada 163 aliran thariqah yg salah satu diantaranya memiliki 17 cabang. Sementara Syaikh Muhammad Taufiq Al Bakri dalam kitabnya Baitush Shiddiq menyebutkan aliran-aliran thariqah di dunia Islam (yang lama atau yang baru) kurang lebih sekitar 124 aliran thariqah.
Oleh Jamiyyah Ahli Thariqah Al Mu'tabarah An Nadhliyyah dikelompokkkan menjadi mu'tabarah dan ghairu mu'tabarah. Yang dimaksud mu'tabarah adalah aliran thariqah yg memiliki sanad muttasil (bersambung terus sampai kpd Rasulullah SAW). Menurut jammiyah ahli thariqah thariqah yg mu'tabar ada sekitar 43 aliran thariqah antara lain:


Abbasiyyah, Ahmadiyyah. Akbariyyah, Alawiyyah, Baerumiyyah, Bakdasiyyah, Bakriyyah, Bayumiyyah, Buhuriyyah, Dasuqiyyah, Ghoibiyyah, Ghazaliyyah, Haddadiyah, Hamzawiyyah, Idrisiyyah, Idrusiyyah, Shollollohu Alaihi Wassalamiyyah, Jalwatiyyah, Justiyyah, Junaidiyyah, Khodliriyyah, Khalwatiyyah, Kholidiyah wa Naqsabandiyyah, Kubrawiyyah, Madbuliyyah, Malamiyyah, Maulawiyyah, Qadiriyyah wa Naqsabandiyah, Rifaiyyah, Rumiyah, Sa'diyah, Samaniyyah, Sumbuliyyah, Sya'baniyyah, Syadzaliyyah, Syathariyyah, Syuhrawiyyah, Tijjaniyyah, Umariyyah, Usyaqiyyah, Utsmaniyyah, Uwaisiyyah, Zainiyyah

Seseorang yang menganut / mengikuti Thoriqoh tertentu dinamai salik (orang yang berjalan) sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang hams dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan yang dimaksud.
Dalam menempuh jalan (thoriqoh) untuk membuka rahasia dan tersingkapnya dinding (hijab) maka mereka mengadakan kegiatan batin, riyadhah (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) keruhaniyan. Perjuangan yang demikian dinamakan suluk, dan orang yang mengerjakan dinamakan "salik".
Seseorang yang menganut/mengikuti Thoriqoh tertentu dinamai salik (orang yang berjalan) sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang hams dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan yang dimaksud.
Dalam menempuh jalan (thoriqoh) untuk membuka rahasia dan tersingkapnya dinding (hijab) maka mereka mengadakan kegiatan batin, riyadhah (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) keruhaniyan. Perjuangan yang demikian dinamakan suluk, dan orang yang mengerjakan dinamakan "salik".
Maka cukup jelaslah bahwa Thoriqoh itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Dimana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya (ainul basiroh).
Salah satu organisasi thariqah yang berpengaruh dan memiliki banyak pengikut di Indonesia adalah Ajaran Wahidiyah. Organisasi Wahidiyah mulai dirintis pada bulan Juli 1959 oleh KH. Abdul Madjid Ma’roef, Pengasuh Pondok Pesantren Kedonglo, Kediri. Dan secara resmi berdiri pada tahun 1963.
Ajaran Wahidiyah adalah bimbingan praktis lahiriyah dan bathiniyah didalam mengamalkan dan menerapkan tuntunan Rasululloh Saw, mencakup bidang syari’at, haqiqat, meliputi penerapan iman, perwujudan ihsan dan pembentukan ahlakul karimah.
Pokok- pokok atau rumusan ajaran Wahidiyah sebagaimana termaktub dalam Sholawat Wahidiyah adalah “lirosul- birosul disamping lillah billah.” Lirrasul termasuk pelaksanaan bidang syariat dan birrasul realisasi bidang haqiqat secara batiniyah.[4] lillah artinya segala amal perbuatan apa saja, baik yang berhubungan dengan masyarakat, dengan sesama makhluq pada umumnya, baik yang wajib, yang sunnah, asal bukan perbuatan yang tidak diridhai Allah, melaksanakannya supaya didasari niat dan tujuan mengabdikan diri kepada Allah dengan ikhlas tanpa pamrih. Sedangkan lirrosul merupakan cara Ta’aluq Bijannabihi berhubungan atau berkonsultasi batin dengan Baginda nabi Saw.
Sholawat wahidiyah adalah rangkaian do’a Sholawat Nabi (Shollallahu alaihi wasallam) sebagaimana tertulis didalam lembaran Sholawat Wahidiyah, termasuk tatacara dan adab pengalamannya. Faedah Sholawat Wahidiyah untuk menjernihkan hati dan Ma’rifat  Billah (sadar kepada Allah Swt) wa Rosulihi Saw. Bersabda Rasululloh: barang siapa membaca shalawat kepadaku satu kali, maka Allah membalas shalawat kepadanya sepuluh kali; dan barang siapa membaca shalawat kepadaku seratus kali, maka Allah menulis pada antara kedua matanya: terbebas dari munafiq dan bebas dari neraka, dan Allah menempatkannya besok pada Yaumul Qiyamah bersama-sama dengan para Syuhada’. (Riwayat Thabrani dari Anas bin Malik).
Motivasi mendirikan thariqah ini adalah meningkatkan ketaatan orang Islam kepada perintah-perintah agama. Pendirinya menganggap masyarakat jawa dewasa ini mengalami kekosongan agama dan kejiwaan. Itulah sebabnya ia mengajak masyarakat Islam agar meningkatkan ketakwaannya kepada Allah dengan setiap kali mengucap dzikir “Fafirruu Ilallahi” artinya “marilah kita kembali kepada jalan Allah”.
Perjuangan Thariqah Wahidiyah dirintis, dikelola dan dibimbing oleh beliau Kyai Majid Ma’ruf di Kedonglo, Kediri (Jawa Timur). [5] Teoritis tarekat ini cukup terbuka sifatnya, karena orang tidak susah mengucapkan sumpah untuk menjadi anggota: siapa yang mengamalkan dzikir sholawat wahidiyah sudah dianggap sebagai anggota.
Thariqah Wahidiyah diamalkan dan diperjuangkan karena disebabkan adanya kerusakan mental manusia, masyarakat dewasa ini telah diambang pintu kehancuran, dilanda arus nafsu sehingga mereka tenggelam dalam lautan munkarot dari kebodohanya tentang kesadaran kepada Allah SWT  wa Rosulihi SAW. Sholawat Wahidiyah dan ajarannya telah dibuktikan keampuhannya mampu membawa masyarakat kembali kepada Allah SWT wa Rosulihi SAW.
Tujuan pokok thariqah Wahidiyah adalah mengajak ummat masyakat untuk segera kembali sadar dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan mengikuti dan menyadari kepada Junjungan kita Rosululloh Saw. Hal ini sesuai dengan yang senantiasa dikumandangkan suatu panggilan “Fafirruu Ilallooh” (Larilah kembali kepada Allah).
Ajakan tersebut tidak hanya dengan bentuk ajakan yang bersifat informal seperti hanya penyampaian amalan, ajaran atau bimbingan saja, akan tetapi juga dengan bentuk pembimbingan praktis. Misalnya tekanan-tekanan tentang penerapan ikhlas kepada Allah, iman / tauhid, ittiba’ kepada Rosululloh Saw, dan kepercayaan seta rasa penerimaan jasa dari Rasululloh Saw sangat diperhatikan. Tekanan terhadap penerapan tauhid Billah disini tidak berarti membagi kelonggaran dalam pelaksanaan syari’at atau amaliah lahiriyah. Karena penerapan lillah lirrosul dan seterusnya adalah pelaksanaan syari’at. Sangat tidak dibenarkan dalam ajaran Wahidiyah seseorang yang beranggapan bahwa jika sudah menerapkan billah (haqiqat) diperbolehkan meninggalkan syari’at.
Ajaran Wahidiyah bukan merupakan ajaran atau aliran baru yang menyimpang dari ajaran Islam; melainkan berupa bimbingan praktis yang dirumuskan dari Al-Quran dan Al-Hadits dalam melaksanakan tuntutan Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam. Meliputi bidang Iman, bidang Islam dan bidang Ihsan. Mencakup segi syari’at, segi haqiqat dan segi akhlaq.
Terkait dengan keberadaan organisasi thoriqah termasuk ajaran wahidiyah, banyak hal yang melatarbelangi seseorang melakukan ritual yang dirumuskan oleh organisasi thariqah. Seperti yang ada di Jimbe kecamatan Jenangaa. Berdasarkan interview singkat dengan pengurus yang ada di desa tersebut muncul keterangan menarik bahwa diantara warga msyarakat yang bergabung menjadi anggota Wahidiyah, menunjukkan indikasi bahwa mereka tidak murni semata-mata bertujuan mendekatakn diri kepada Allah, tetapi juga memiliki motif/niat lain yang bersifat material, misalnya keinginan untuk mendapatkan kemampuan dibidang pengobatan, penarikan kekayaan serta kemampuan supranatural.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan landasan theologies Organisasi Wahidiyah dalam memberikan pendidikan rohani bagi masyarakat Desa Jimbe kecamatan Jenangan. Penelitian ini diberi judul “URGENSI KEMURNIAN NIAT PADA KEIKUTSERTAAN MASYARAKAT DALAM ORGANISASI THORIQOH” (Tinjauan Theologis Terhadap Aliran Wahidiyah di Desa Jimbe Jenangan Ponorogo)


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana profil ajaran wahidiyah dalam memberikan pendidikan rohani kepada masyarakat desa Jimbe Jenangan Ponorogo?
2.      Apa bentuk penyimpangan niat warga masyarakat yang bergabung menjadi anggota thariqah Wahidiyah di Desa Jimbe Jenangan Ponorogo?
3.      Apa urgensi kemurnian niat untuk mengantisipasi fenomena penyimpangan niat dalam menjalankan ajaran thariqah Wahidiyah di desa Jimbe Jenangan Ponorogo?
4.      Apa langakah yang ditempuh oleh pengurus thariqah Wahidiyah desa Jimbe Jenangan Ponorogo untuk mengupayakan kemurnian niat bagi para anggotanya?
C.    Tujuan Penelitian 
Tujuan umum penelitian ini adalah memaparkan sebuah problem penting dalam ajaran Wahidiyah sebagai salah satu organisasi thariqah yang banyak memiliki pengikut di masyarakat. Namun secara lebih rinci tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1.      Profil ajaran Wahidiyah dalam memberikan pendidikan rohani kepada masyarakat desa Jimbe jenangan Ponorogo.
2.      Bentuk penyimpangan niat warga masyarakat yang bergabung menjadi anggota thariqah Wahidiyah di desa Jimbe Jenangan Ponorogo
3.      Urgensi kemurnian niat untuk mengantisipasi fenomena penyimpangan diat dalam menjalankan ajaran thariqah Wahidiyah di desa Jimbe Jenangan Ponorogo
4.      Langkah yang ditempuh oleh pengurus thariqah Wahidiyah desa Jimbe Jenangan Ponorogo untuk mengupayakan kemurnian niat bagi para anggotanya.
D.    Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian dapat tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat praktis dan teoritis.
1.      Manfaat Praktis
a.       Bila profil ajaran Wahidiyah diketahui dengan terang akan memudahkan masyarakat untuk menentukan pilihan dalam bergabung dalam organisasi thariqah yang dianggap mampu menjadi sarana menuju kedekatan kepada Allah.
b.      Bila bentuk distorsi motivasi warga masyarakat yang bergabung dalam ajaran Wahidiyah serta dampak negatifnya dapat diidentifikasi dengan baik, akan membentuk dalam memberikan penyadaran terhadap masyarakat yang memiliki motif menyimpang ataupun sebagai pendukung langkah preventif (pencegahan) agar warga yang lain tidak menyimpang.
c.       Bila langkah untuk membenahi penyimpangan motivasi ber-thariqah Wahidiyah dapat dipaparkan dengan jelas, maka akan dapat dijadikan acuan bagi organisasi thariqah lain yang tengah mengalami problem yang serupa.
2.                              Manfaat Teoritis.
Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tema pemurnian diri untuk mendekatkan kepada Allah (sufi), pembinaan budi pekerti (akhlak) serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ruhani.
E.     Metode Penelitian
1.      Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan. Hal ini dilakukan karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.[6]
Proses penelitian kualitatif supaya dapat menghasilkan temuan yang benar-benar bermanfaat memerlukan perhatian yang serius terhadap berbagai hal yang dipandang perlu. Dalam memperbincangkan proses penelitian kualitatif paling tidak tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu kedudukan teori, metodologi penelitian dan desain penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif dapat bertitik tolak dari suatu teori yang telah diakui kebenarannya dan dapat disusun pada waktu penelitian berlangsung berdasarkan data yang dikumpulkan. Pada tipe pertama, dikemukakan teori-teori yang sesuai dengan masalah penelitian, kemudian di lapangan dilakukan verifikasi terhadap teori yang ada, mana yang sesuai dan mana yang perlu diperbaiki atau bahkan yang ditolak.
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda: kedua, metode ini menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan responden , dan ketiga metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.[7]
Penelitian kualitatif mengenal adanya teori yang disusun dari data yang dibedakan atas dua macam teori, yaitu teori substantif dan teori formal. Teori substantif adalah teori yang dikembangkan untuk keperluan substantive atau empiris dalam inkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi, antropologi, psikologi dan lain sebagainya. Contoh: perawatan pasien, hubungan ras, pendidikan professional, kenakalan, atau organisasi peneliti. Disisi lain, teori formal adalah teori untuk keperluan formal atau yang disusun secara konseptual dalam bidang inkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi, psikologi dan sebagainya. Contoh: perilaku agresif, organisasi formal, sosialisasi, autoritas dan kekuasaan, system penghargaan atau mobilitas social.
Unsur-unsur teori meliputi (a) kategori konseptual dan kawasan konseptualnya dan (b) hipotesis atau hubungan generalisasi diantara kategori dan kawasan serta integrasi. Kategori adalah unsur konseptual suatu teori sedangkan kawasannya (property) adalah aspek atau unsur suatu kategori.  Yang perlu ditekankan dalam penelitian kualitatif, bahwa status hipotesis ialah suatu yang disarankan, bukan sesuatu yang diuji diantara hubungan kategori dan kawasannya. Jadi, peneliti pergi ke lokasi tersebut, memahami, dan mempelajari perilaku insani tersebut dalam konteks lingkungannya sebagai mana yang ditunjukkannya.[8] Keaktifan tersebut mencakup baik penyusunan hipotesis maupun verifikasi melalui perbandingan antar kelompok.
    1. Penentuan instrumentasi.
Dalam kegiatan penelitian untuk memperoleh data yang berasal dari lapangan, seorang peneliti biasanya menggunakan instrumen yang baik dan mampu mengambil informasi dari obyek dan subyek yang diteliti.[9]
Instrumentasi penelitian tidak bersifat eksternal yaitu peneliti sendiri sebagai instrument boleh dipergunakan (human instrument). Bentuk-bentuk lain intrumen boleh dipergunakan jika ada. Untuk semua penelitian naturalistic, evaluasi atau analisis kebijakan sangat bermanfaat apabila instrument manusia diorganisasi dalam satu tim, sedang keuntungan-keuntungan dalam hal peran, perspertif nilai, disiplin, strategi, metodologi, cek internal dan saling mendukung.[10]
3.      Perencanaan pengumpulan data.
Intrumen manusia yang beroperasi dalam situasi yang tidak ditentukan, dimana peneliti memasuki lapangan yang terbuka, sehingga tidak mengetahui apa yang tidak diketahui. Untuk itu maka peneliti haruslah mengandalkan teknik-teknik kualitatif, seperti wawancara, observasi, pengukuran, dokumen, rekaman, dan indikasi non-verbal.
Dalam rekaman data terbagi pada dua dimensi, yaitu fidelitas dan struktur. Fidelitas mangacu pada kemampuan peneliti untuk menunjukkan bukti secara nyata dari lapangan (fidelitas tinggi, misalnya rekaman video atau audio, dengakan fidelitas kurang, misalnya catatan rekaman lapangan). Sedangkan dimensi struktur meliputi terstruktur wawancara dan observasi.[11]
4.      Perencanaan prosedur analisis.
Analisis data dilakukan sepanjang dan dilakukan secara terus-menerus dari awal sampai akhir penelitian. Pengamatan tidak mungkin tanpa analisis untuk mengembangkan hipotesis dan teori berdasarkan data yang diperoleh.
Keberadaan hipotesis merupakan ciri dari penelitian kualitatif. Hipotesis juga merupakan kendali bagi peneliti agar arah penelitian yang dilakukan tidak kemana-mana, selain dari tujuan penelitian.[12]
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.[13]
Analisis data merupakan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkip-transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis data melibatkan pengerjaan pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola-pola, pengungkapan hal-hal yang penting dan penentuan apa yang dilaporkan.
F.     Sistematika Pembahasan
Untuk memperjelas rangkaian uraian dan mempermudah pemahaman terhadap alur di dalamnya, skripsi ini terbagi menjadi lima bab yang mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara rinci sistematika dalam tesis ini adalah:
Bab satu, merupakan pendahuluan yang memuat pola dasar yang melatarbelakangi penulis dalam menyusun skripsi ini, yang mencakup: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, berisi kajian pustaka yang terdiri dari: pertama, uraian tentang profil organisasi penyiar shalawat wahidiyah yang meliputi sejarah organisasi Wahidiyah, tokoh-tokoh penting penyiar Wahidiyah dan berbagai kegiatan organisasi Wahidiyah dan ajaran inti Wahidiyah. Kedua, kajian mengenai dasar theologis aliran wahidiyah, landasan utama amalan wahidiyah  dalam perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Bab ketiga, berisi paparan terkait metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini, mencakup desain penelitian, populasi, instrument penelitian, teknik pengumpulan data dan analisa data.
Bab keempat, hasil penelitian yang memuat gambaran umum objek penelitian yang meliputi: gambaran pengamalan ajaran shalawat di Ponorogo. Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.













G.    DAFTAR PUSTAKA
    1. Muhammad Ruhan Sanusi. Kuliah Wahidiyah. Jombang. Pusat Penerbitan Wahidiyah. 2006.
    2. Kaelany. Islam & Aspek-Aspek kemasyarakatan. Jakarta. Bumi Aksara. 2000
    3. Ibn Taimiyah. Kemurnian Akidah. Terj. Halimuddin. Jakarta. Bumi Aksara. 2001
    4. Qomari Mukhtar. Sejarah dari Awal Perjuangan Wahidiyah. Kediri. Pusat Penerbitan Wahidiyah. 2002
    5. Nana Sudjana & Ibrahim. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung. Sinar Baru Algensindo. 2001
    6. Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan kompetensi dan Prakteknya. Jakarta. Bumi Aksara. 2003.
    7. Ruhan Sanusi. Tuntunan Mujahadah & Acara-Acara Wahidiyah. Jombang. DPP PSW. 2008.
    8. Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta. Alfabeta. 2007.
    9. Lexy J. Moeloeng. Metode Penelitian Keualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2000.
    10. Subana. Dasar-Dasar penelitain Ilmiah. Bandung. Pustaka Setia.2001
    11. Noeng Muhajir. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Rake Sarasin. 1996









BAB II
LANDASAN TEORI
Terkait dengan keberadaan organisasi thariqat termasuk ajaran Wahidiyah, Peneliti melihat banyak hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan ritual yang dirumuskan oleh organisasi thariqah. Seperti yang ada di Jimbe kecamatan Jenangan. Berdasarkan interview singkat dengan pengurus yang ada di desa tesebut muncul keterangan menarik bahwa diantara warga masyarakat yang bergabung menjadi anggota Wahidiyah, menunjukkan indikasi bahwa mereka tidak murni semata-mata bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga memiliki motif / niat lain yang bersifat material, misalnya keinginan untuk mendapatkan kemampuan di bidang pengobatan, penarikan kekayaan (jalb al- rizq) serta kemampuan supranatural.
Madhab Hanafi, hanbali, juga Maliki memandang bahwa niat merupakan syarat, tempat niat adalah di dalam hati. Niat sama sekali tidak cukup diucapkan dengan lisan. Melafalkan niat secara lisan, juga, sama sekali tidak disyaratkan. Akan tetapi jumhur (selain mazhab maliki) berpendapat bahwa niat sunnah diucapkan dengan lisan; sedangkan menurut madhab Maliki, tindakan yang paling baik ialah tidak melafalkan niat. [14]
Setelah memperhatikan fenomena penyimpangan niat pada keikutsertaan masyarakat dalam organisasi thariqah maka dipandang perlu melakukan upaya sistematis agar kekeliruan tersebut tidak terus berkembang luas. Salah satu tindakan yang mungkin ditempuh untuk mengantisipasi penyimpangan tersebut ialah dengan melakukan usaha membentuk kemurnian niat.
انما الاْ عما ل با لنيا ت
Sesungguhnya amalan-amalan itu (harus disertai) dengan niat. Niat merupakan langkah awal dalam membangun segala sesuatu. Ia merupakan bagian dari pondasi suatu bangunan, titik bertolak dalam melangkah dan menjadi pedoman dalam melahirkan kreatifitas serta untuk membedakan antara yang hak dan yang bathil..[15] Niat adalah maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk melakukan sesuatu. Niat merupakan langkah awal dalam membangun segala sesuatu. Menunut bahasa, niat adalah al-qhasdu (maksud). Niat merupakan faktor yang bisa memotivasi diri dalam mengerjakan sesuatu. [16]Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
Niat termasuk perbuatan hati semata, yang tidak ada sangkut pautnya dengan lisan, dan mengucapkannya tidaklah disayaria’atkan. [17]akan tetapi, jumhur (selain madzhab Maliki) berpendapat bahwa niat sunah diucapkan dengan lisan; sedangkan menurut madzhab Maliki, tindakan yang paling baik adalah tidak melafalkan niat. [18]
"ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال : انما الاعمال با النيات وانما لكل امرئ ما نوي فمن كا نت هجرته الي الله ورسو له فهجرته الي الله ورسوله ومن كا نت هجرته الي دنيا يصيبها او امراة ينكحها فهجرته الي ما ها جر اليه"
Segala amal perbuatan itu dengan niat dan sesungguhnya bagi tiap-tiap manusia itu apa yang diniatkannya. Maka barang siapa yang hijrahnya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya tertuju kepada dunia yang hendak dicapainya atau perempuan yang hendak dikawininya maka hijrahnya kepada adalah kepada yang ia berhijrah kepadanya[19].
Niat termasuk perbuatan hati, maka tempatnya adalah didalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam didalam hatinya.
Aspek niat itu ada 3 hal :
1.      Diyakini dalam hati.
2.      Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan menjadi riya.
3.      Dilakukan dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh kiat yang ungkapkan Rasululloh saw, yaitu sebelum melaksanakan puasa harus menata niat dan memantapkan niat dalam hati. Niat yang kuat dan tegas akan menghasilkan energi motivasi beramal yang luar biasa. [20]
Kata “segala amal perbuatan” dalam hadits diatas mencakup segala macam gerak lisan (ucapan) dan gerakan-gerakan anggota tubuh lainnya, mulai dari kepala, tangan, kaki, lain sebagainya. Niyyaat jamak dari niyyat yang berarti tujuan. Dengan devinisi yang lebih luas lagi niat adalah greget hati terhadap apa yang ia lihat dengan tetap mempertimbangkan tujuan mendapatkan manfaat dan mencegah datangnya madharat. Dalam konterks syar’I dikenal sedagai iradah yang intinya lebih mengarah pada suatu amalan demi keridhaan Allah dan kepatuhan kepada hukumnya.[21]
Perjalanan antara hablum minallah dan hablum minannas dalam risalah Muhammad s.a.w. bertambah jelas pula oleh ketentuan agama islam, bahwa sesuatu amal perbuatan, besar atau kecil , dibidang manapun, dinilai sesuai dengan niat atau motif yang tekandung dalam hati yang melakukannya.[22]
Perlu diketahui bahwasanya suatu perkara yang sifatnya mubah bisa diberi pahala bagi pelakunya karena niat yang baik. Seperti orang yang makan dan minum dan ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya. Maka dia akan diberi pahala karena niatnya yang baik tersebut.
Niat yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbakti dan taqarrub kapada Allah. Oleh karena itu siapa yang makan dengan niat menjaga kelangsungan hidup dan memperkuat tubuh supaya dapat melaksanakan kewajibannya untuk berkhitmat kepada Allah dan umatnya, maka makan dan minum itu dapat dinilai amal ibadah.[23]
Maka langkah-langkah awal menuju Alloh SWT adalah menentukan niat atau maksud dan tujuan. Sebab menurut aturan yang benar adalah bahwa kita diperintahkan oleh Alloh SWT untuk meraih kebahagiaan akhirat melalui aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan Alloh SWT. Sedangkan yang konsisten dengan tujuan pencapaian keuntungan akhirat itu, maka Alloh juga akan menambahkan keuntungan didunia sesuai dengan kadar ketentuan dan kebijaksanaannya.[24]
Alqur’an menjelaskan bahwa jin dan manusia diciptakan untuk beribadah dan mengabdi kepada Alloh, dan semua Rasul diutus Alloh untuk mengajak beribadah kepada-Nya. Islam memandang seluruh aktivitas kehidupan manusia haruslah didasarkan kepada semangat pengabdian kepada Alloh semata. [25]
Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal jadi rusak karena niat yang rusak. Untuk setiap usaha harus ada dasar niat yang jelas dan benar. Suatu ketentuan Islam ialah bahwa sesuatu amal perbuatan, besar ataupun kecil, dibidang yang manapun, dinilai sesuai dengan niatnya, atau motivasi-motivasinya yang terkandung di dalam hati yang melakukannya.

BAB III
HASIL PENELITIAN
Terkait dengan keberadaan organisasi thariqat termasuk ajaran Wahidiyah, Peneliti melihat banyak hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan ritual yang dirumuskan oleh organisasi thariqah. Seperti yang ada di Jimbe kecamatan Jenangan. Berdasarkan interview singkat dengan pengurus yang ada di desa tesebut muncul keterangan menarik bahwa diantara warga masyarakat yang bergabung menjadi anggota Wahidiyah, menunjukkan indikasi bahwa mereka tidak murni semata-mata bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga memiliki motif / niat lain yang bersifat material, misalnya keinginan untuk mendapatkan kemampuan di bidang pengobatan, penarikan kekayaan (jalb al- rizq) serta kemampuan supranatural.
Setelah memperhatikan fenomena penyimpangan niat pada keikutsertaan masyarakat dalam organisasi thariqah maka dipandang perlu melakukan upaya sistematis agar kekeliruan tersebut tidak terus berkembang luas. Salah satu tindakan yang mungkin ditempuh untuk mengantisipasi penyimpangan tersebut ialah dengan melakukan usaha membentuk kemurnian niat.
secara individu orang-orangkan kadang-kadang dia itu diberi kelebihan oleh Alloh sehingga di beri kemampuan memberi pertolongan kepada orang yang sakit dengan metode-metode salafiyah kyai kuno berupa air bening. secara individu orang-orangkan kadang-kadang dia itu diberi kelebihan oleh Alloh sehingga di beri kemampuan memberi pertolongan kepada orang yang sakit dengan metode-metode salafiyah kyai kuno berupa air bening.[26]
Peneliti melihat bahwa Thariqah Wahidiyah diamalkan dan diperjuangkan karena disebabkan adanya kerusakan mental manusia, masyarakat dewasa ini telah diambang pintu kehancuran, dilanda arus nafsu sehingga mereka tenggelam dalam lautan munkarot dari kebodohanya tentang kesadaran kepada Allah SWT  wa Rosulihi SAW. Sholawat Wahidiyah dan ajarannya telah dibuktikan keampuhannya mampu membawa masyarakat kembali kepada Allah SWT wa Rosulihi SAW. Tujuan pokok thariqah Wahidiyah adalah mengajak ummat masyakat untuk segera kembali sadar dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan mengikuti dan menyadari kepada Junjungan kita Rosululloh Saw. Hal ini sesuai dengan yang senantiasa dikumandangkan suatu panggilan “Fafirruu Ilallooh” (Larilah kembali kepada Allah).
Contoh-contoh orang yang dulunya itu ya bosnya ketoprak, bosnya reog yang kehidupannya identik dengan minum-minuman keras, main perempuan, identik dengan perjudian, setelah dia itu diberi amalan sholawat wahidiyah dia mau mengamalkan alhamdulillah dengan kesadaran hati dia pelan-pelan “aku wes tuo kepengurusane ketuanya ketoprak ganti aja”  masalah reog juga begitu. Pelan-pelan dalam kurun satu tahun dia sudah sembuh total. Reog juga gak ikut, kalau reognya itu kan gak masalah tapi yang terkait dengan reognya itu malah yang bermasalah. Apalagi yang minum-minuman judi aja udah berhenti total. Ada teman insuri dia itu menyusun skripsi menggunakan judul fenomena wahidiyah di dalam membangun akhlakul karimah. Dia mengambil satu titik satu daerah yang dijadikan obyek adalah lingkungan sini. Disini tidak banyak tapi katakanlah sudah diterima dalam arti walaupun dia sendiri tidak aktif diwahidiyah tidak mempermasalahkan terhadap wahidiyah. Bukan semuannya pengamal wahidiyah itu bukan. Sudah terjadi suatu kerjasama jalinan yang baik dibikin obyek percontohan.[27]
Didalam wahidiyah itu sendiri tidak ada ketentuan dalam mengamalkan sholawat tersebut. Yang penting mau untuk mengamalkan sholawat tersebut. Dan sholawat tersebut bukan thoriqoh seperti yang dikenal oleh masyarakat saat ini. Jadi didalam wahidiyah tidak ada ijazah atau baiat seperti layaknya jika seseorang itu masuk pada thoriqoh tertentu. Jadi penggunaan thoriqoh didalam wahidiyah itu mempunyai makna jalan untuk wusul kepada Alloh Swt. Seperti wawancara yang berhasil peneliti rekam berikut ini:
Wahidiyah itu bukan thoriqoh, Cuma sholawat. Kalau thoriqoh itu semacam baiat, sedang diwahidiyah itu tidak ada yang namanya baiat. Kalau mempelajari wahidiyah itu alangkah lebih tau itu mujahadah. Maksudnya wahidiyah nanti timbulnya pembicaraan tidak sampai hati Cuma hanya tulisan saja.  [28]
Shoalawat Wahidiyah itu berisi doa-doa yang disusun dan beliau tulis langsung oleh syeh majid makruf Koddasa sirrohu dari kedonglo kediri pada tahun 1963. Bisa dinamakan thoriqoh dalam arti jalan untuk wushul (bertemu) kepada Alloh. Didalam wahidiyah tidak ada istilah ijasah  amalan. Yang terpenting mau mengamalkan sholawat wahidiyah 40 hari itu. Sudah bisa dinamaka ijazah. Jadi tanpa ada istilah ijazah tertentu sudah diakui sebagai murid.[29]




BAB IV
PEMBAHASAN
Sholawat Wahidiyah diamalkan dan di perjuangkan karena disebabkan  adanya kerusakan mental manusia, masyarakat dewasa ini telah di ambang pintu kehancuran, dilanda arus nafsu sehingga mereka tenggelam dalam lautan munkarot dari kebodohanya tentang kesadaran kepada Allah Swt wa Rosulihi Saw. Sholawat Wahidiyah dan Ajaranya telah dibuktikan keampuhannya mampu membawa masyarakat kembali kepada Allah Swt wa Rosulihi SAW.
Faedah Sholawat Wahidiyah untuk menjernikan hati dan Ma‘rifat Billah (sadar kepada Alloh Swt) wa Rosuluhi Saw.
Bersabda Rosululloh : Barang siapa membaca shalawat kepadaku satu kali, maka Alloh membalas shalawat kepadanya sepuluh kali; dan barang siapa membaca shalawat kepadaku seratus kali, maka Alloh menulis pada antara kedua matannya : terbebas dari munafiq dan bebas dari neraka, dan Alloh menempatkannya besok pada Yaumul Qiyamah bersama-sama dengan para suhada’. (Riwayat Thabrani dari Anas bin Malik)
Ajaran Wahidiyah bukan merupakan ajaran atau aliran baru yang menyimpang dari ajaran Islam; melainkan berupa bimbingan praktis yang dirumuskan dari Al-Quran dan Al-Hadits dalam melaksanakan tuntutan Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam. Meliputi bidang Iman, bidang Islam dan bidang Ihsan. Mencakup segi syari’at, segi haqiqat dan segi akhlaq.
Terkait dengan keberadaan organisasi thariqat termasuk ajaran Wahidiyah, banyak hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan ritual yang dirumuskan oleh organisasi thariqah. Seperti yang ada di Jimbe kecamatan Jenangan. Berdasarkan interview singkat dengan pengurus yang ada di desa tesebut muncul keterangan menarik bahwa diantara warga masyarakat yang bergabung menjadi anggota Wahidiyah, menunjukkan indikasi bahwa mereka tidak murni semata-mata bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga memiliki motif/niat lain yang bersifat material, misalnya keinginan untuk mendapatkan kemampuan di bidang pengobatan, penarikan kekayaan (jalb al- rizq) serta Setelah memperhatikan fenomena penyimpangan niat pada keikutsertaan masyarakat dalam organisasi thariqah maka dipandang perlu melakukan upaya sistematis agar kekeliruan tersebut tidak terus berkembang luas. Salah satu tindakan yang mungkin ditempuh untuk mengantisipasi penyimpangan tersebut ialah dengan melakukan usaha membentuk kemurnian niat.
Niat disini bukan sekedar ucapan tetapi "kesadaran" jiwa yang muncul disaat akan melakukan perbuatan baik (yang ada perintah-Nya). Niat tidak harus berbahasa arab, maksudnya kalau dia bisa dengan Lafadz bahasa Arab itu lebih baik, tapi kalaupun tidak bisa, maka jangan sampai karena tidak mampu dengan bahasa Arab menghambat kegiatan ibadah, karena sesungguhannya Allah maha mengetahui segala sesuatu kemampuan supranatural.
Setelah memperhatikan fenomena penyimpangan niat pada keikutsertaan masyarakat dalam organisasi thariqah maka dipandang perlu melakukan upaya sistematis agar kekeliruan tersebut tidak terus berkembang luas. Salah satu tindakan yang mungkin ditempuh untuk mengantisipasi penyimpangan tersebut ialah dengan melakukan usaha membentuk kemurnian niat.
Niat disini bukan sekedar ucapan tetapi "kesadaran" jiwa yang muncul disaat akan melakukan perbuatan baik (yang ada perintah-Nya). Niat tidak harus berbahasa arab, maksudnya kalau dia bisa dengan Lafadz bahasa Arab itu lebih baik, tapi kalaupun tidak bisa, maka jangan sampai karena tidak mampu dengan bahasa Arab menghambat kegiatan ibadah, karena sesungguhannya Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Niat merupakan kesadaran dalam hati bahwa apa yang kita lakukan semata-mata, kesadaran "lillâhi tâ’ala", bukan karena orang, atau ter-paksa, malu, merasa tidak enak, pamrih ingin dipuji, diperhatikan atau karena kasihan dan lain-lain. Jika tercampur dengan perasaan seperti ini maka ini akan merusak nilai pahala ibadah, dan sia-sialah apa yang di kerjakan.
Menurut pendapat Peneliti: Kemurnian niat dalam menjalankan pengabdian kepada Tuhan (ibadah) merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an Surat 11:15-16: Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya (pahala dunia) niscaya kami berikan balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka tidak akan dirugikan. ltulah orang-orang yang tidak memper-oleh pahala di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah dikerjakan.
Peneliti berasumsi bahwa alangkah ruginya semua usaha, untuk itu menjadi keharusan bagi manusia meluruskan niat dalam beribadah. Sebaliknya kalau manusia berniat murni melaksanakan perintah Allah, maka Allah akan membalas di dunia dan juga di akhirat.
Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niatnya dan meluruskannya agar apa yang dia lakukan dapat berbuah kebaikan. Dan perbaikan niat ini perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan mencurahkan segala daya upaya). Niat itu harus ditujukan semata untuk Allah, ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah saw.








BAB V
KESIMPULAN
Dari uraian laporan hasil penelitian pada bab III maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Sholawat wahidiyah itu boleh diamalkan oleh siapapun tanpa pandang bulu dan golongan. Pokoknya orang itu beriman, boleh mengamalkan wahidiyah. Tugas dari PSW mengawal supaya tidak menggunakan wahidiyah untuk tuujuan tertentu untuk mendukung salah satu organisasi politik. 
2. Lembaga hikmah PSW (penyiaran Sholawat Wahidiyah) yang didalam wahidiyah tersebut mempunyai andil bagian dalam meluruskan niat anggota pangamal Wahidiyah.  Peran yang sangat penting dalam Pembina khalak dan sepritual para pengamal Wahidiyah,
Adapun peranan PSW (penyiaran Sholawat Wahidiyah)  dalam pembinaan niat  para jamaah Wahidiyah  dalam dilaksanakan ibadah melalui pembinaan:
·               Membina akhlak pengamal melalui fasilitator (PSW) itu sendiri.
·               Membiasakan dalam setiap perbuatan untuk ikhlas.
Adapun peran PSW dalam pembentukan akhlak Jamaah wahidiyah dapat  terwujud dalam suasana yang bersumber pada nilai-nilai Islam yang berupa Aqidah, Syari’ah dan Akhlakul karimah yaitu dalam suasana;
a.       Suasana mentauhidkan Allah
b.      Suasana beribadah kepada Allah
c.       Suasana ukhuwa Islamiyah.
d.      Suasana kekeluargaan dan kebersamaan.
e.       Suasana hidup serasi dan seimbang
f.       Suasana Qonaah dan sederhana
g.      Suasana keikhlasan dan pengorbanaan
h.      Suasana hidup berdisiplin



[1] Ibn Taimiyah, Kemurnian Akidah, terj. Halimuddin (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), 5
[2] Kaelani, Islam & Aspek-Aspek Kemasyarakatan (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 94
[3] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), 69
[4] Muhammad Ruhan Sanusi, Kuliah Wahidiyah Untuk Menjernihkan Hati dan Ma’rifat Billah Warosulihi (Jombang: Dewan Pimpinan Pusat Penyiaran Sholawat Wahidiyah 2006), 134
[5]    Qomari Mukhtar, Sejarah Dari Awal Perjuangan Wahidiyah (Kedonglo Kediri: Pusat Penerbitan Wahidiyah. 2002), 15
[6] Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 4.
[7] Ibid hal: 5
[8] Nana Sudjana, Penelitian dan Penilaian Pendidikan (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001), 179
[9] Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 29
[10] Lexy Moeloeng. Metode Penelitian Kualitatif  (Bandung: Rosdakarya, 2002), 26
[11] Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif  (Jakarta: Alfabeta, 2007), 158
[12]  Subana, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 74
[13] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 104
[14] Wahdah Al-Zuhaily, Puasa dan Itikaf Kajian Berbagai Mazhab (Bandung: Rosdakarya, 1999), 171
[15] Ahmad Bin Sholeh Az-Zahroni, Menggali Potensi Diri dan Melipatgandakan Amal (Jakarta: darut taufiq, 1999), 11
[16] Ahmad bin Shaleh Az-zahrani, Menggali Potensi & Melipatgandakan Amal (Jakarta: Darut Tauhid, 2003) hal: 11
[17] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 1 (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987) hal: 87
[18] Wardah Al-Zuhaily, Puasa dan I’tikaf  “Kajian Berbagai Madzhab”  (Bandung: Rwmaja PI Rosda Karya, 1999) hal: 172
[19] Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa (Surakarta: Era Intermedia, 1998)  hal: 105
[20] Ahmad Syarifuddin, Puasa Menuju Sehat Fisik Dana Psikis (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) hal: 164
[21] Abdul Qadir Ahmad ‘Atha’, Adabun Nabi Meneladani Ahlak Rasulullah SAW (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hal: 2
[22] M.Natsir, Fiqhud Da’wah “Jejak Risalah Dan Dasar-Dasar Da’wah” (Semarang:Yayasan Kesejahteraan Pemuda Islam, 1984) hal: 36
[23] Yusuf Qardhawi, Halal & Haram Dalam Islam (Singapura: Himpunan Belia Islam, 1980) hal: 38
[24] Ibid, 14
[25] Munir, Falsafah Al-qur’an (Ponorogo: STAIN Press, 2008), 90
[26] Budi Santoso, Wawancara, 19 februari 2010
[27] Budi Santoso, Wawancara, 19 februari 2010
[28] Zainuddin, Wawancara, 15 februari 2010
[29] mahmud, Wawancara, 13 februari 2010

0 komentar: